Syarat dan Izin Jihad
Di dalam hadits shohih disebutkan:
Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam rangka bermaksiat kepada Kholiq. (Shohih Al Jami’ Ash Shoghir)
Ibnu Rusydi mengatakan: “Taat kepada imam itu hukumnya adalah wajib meskipun imam tersebut tidak adil meskipun ia fasiq kecuali jika ia memerintahkan untuk berbuat maksiat.. dan di antara kemaksiatan itu adalah jika ia melarang jihad yang fardlu ‘ain.” Yakni: jihad yang hukumnya menjadi fardlu ‘ain sedangkan Ibnu Rusydi dan Al Qurthubi adalah dari kalangan madzhab Maliki, maksudnya dalam hal ini siapapun yang melarangnya tidak boleh ditaati, karena yang boleh ditaati itu hanyalah hal-hal yang ma’ruf (kebaikan).
Ibnu Taimiyah di dalam Al Fatawa Al Kubromengatakan: “Adapun apabila musuh menyerang maka tidak ada celah perselisihan lagi (atas kewajiban melawannya). Karena sesungguhnya mempertahankan agama, jiwa dan kehormatan dari bahaya musuh itu hukumnya wajib berdasarkan ijma’, sehingga tidak diperlukan lagi untuk ijin kepada amirul mukminin.” Sampai di sini perkataan Ibnu Taimiyah.
Maka tidak diperlukan lagi untuk ijin kepada amirul mukminin, seandainya sekarang ini ada amirul mukminin.
Yang penting adalah: tidak perlu meminta ijin kepada kedua orang tua dalam hal-hal yang hukumnya fardlu ‘ain. Dalam hal-hal yang hukumnya fardlu ‘ain tidak diperlukan lagi ijin sama sekali, sampai kepada amirul mukminin sekalipun; seorang kholifah dari kalangan Bani Abbasiyah atau Bani Umawiyah.
Makruh atau haram hukumnya berperang tanpa ijin kepada kholifah kecuali dalam tiga keadaan:
Pertama: Apabila imam menihilkan jihad … tidak mau berjihad … kholifah yang semacam ini tidak perlu dimintai ijin.
Kedua: Apabila jika meminta izin itu akan menggagalkan tujuan dari jihad, sebagaimana dalam contoh yang telah kami sebutkan, karena jika Abu Tholhah dan Salamah harus meminta ijin terlebih dahulu tentu onta-onta Rosululloh berhasil dibawa pergi dari Madinah.
Ketiga: Apabila kita sebelumnya telah mengetahui bahwa iman tidak akan menerima dan tidak akan mengijinkan.
Kedua orang tua, maupun kepada kholifah, maupun siapapun di dunia ini tidak berhak untuk mencampuri kewajiban yang diwajibkan kepada kita, ia tidak berhak untuk dimintai persetujuan maupun untuk melarangnya.
Ijin Kepada Kedua Orang Tua.
Syaikh Bin Baz mengatakan: “Sekarang ini jihad di Afghanistan hukumnya fardlu ‘ain, akan tetapi wajib untuk meminta ijin kepada kedua orang tua.” Lalu saya mengatakan kepada beliau: “Wahai Syaikh kami, tidak ada seorang fuqoha’ pun sebelum anda yang berpendapat seperti ini. Semua fuqoha’ mengatakan: Sesungguhnya dalam hal-hal yang hukumnya fardlu ‘ain itu tidak ada permintaan ijin kepada siapapun.”
Beliau mengatakan: “Wahai Syaikh Abdulloh, ada sebuah hadits yang menyatakan:
Berjihadlah pada kedua orang tuamu. (potongan dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori).
Saya katakan kepada beliau: “Namun ada hadits lain yang berbunyi:
Demi (Alloh) yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku benar-benar akan tinggalkan keduanya lalu aku akan berangkat berjihad. Rosul bersabda: “Engkau lebih tahu.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban)
Beliau (Syaikh Bin Baz) berkata lagi: “Akan tetapi hadits yang pertama lebih kuat.”
Dalam memadukan pemahaman dua hadits tersebut Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fat-hul Baari: “Hadist yang pertama untuk jihad yang fardlu kifayah sedangkan hadits yang kedua adalah untuk jihad yang fardlu ‘ain.” Artinya ketika jihad fardlu ‘ain tidak diperlukan lagi izin kedua orang tua, sedangkan ketika jihad fardlu kifayah harus izin kedua orang tua. Sebenarnya saya malu untuk berdiskusi dengan beliau, dengan seorang seperti orang tua kami sendiri. Kemudian beliau mengatakan: “Wahai Syaikh Abdulloh, tetaplah engkau dengan fatwamu dan aku akan tetap dalam fatwaku. (Ini merupakan sebuah rekomendasi besar yang diberikan oleh Al ‘Allamah Bin Baz rohimahulloh kepada Syaikh Abdulloh Azzam rohimahulloh, artinya Syaikh Abdulloh Azzam adalah orang yang layak untuk berfatwa. Dan seandainya Syaikh Abdulloh Azzam salah tentu an nush-hu fid din (kewajiban untuk saling menasehati dalam masalah agama) itu menuntut kepada Syaikh Bin Baz wajib untuk menerangkan kesalahan Syaikh Abdulloh Azzam supaya ia tidak menyesatkan orang lain. Dan seandainya Syaikh Abdulloh Azzam salah tentu Syaikh Bin Baz tidak mengatakan kepadanya: “Tetaplah dalam fatwamu.”
Sedangkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Ibnu Utsaimin condong untuk berpendapat bahwa jihad sekarang ini hukumnya fardlu ‘ain.. jihad hukumnya fardlu ‘ain, dan tidak diperlukan lagi untuk meminta ijin kepada kedua orang tua… tidak wajib untuk meminta ijin kepada kedua orang tua kecuali jika ia adalah anak satu-satunya dan kedua orang tuanya membutuhkan kepada dirinya. Jika kedua orang tuanya membutuhkannya maka ia wajib meminta ijin kepada keduanya, namun jika keduanya tidak membutuhkannya maka tidak wajib untuk meminta ijin kepada keduanya. Ini adalah fatwa Ibnu Utsaimin dan Al Albani seminggu yang lalu belum lama . Lalu ada salah seorang yang hadir dalam majlis beliau mengatakan kepada beliau, sebagaimana yang disampaikan kepadaku oleh salah seorang yang hadir bersama kalian: “Wahai Syaikh, apabila jihad di Afghanistan itu benar, baru jihad itu fardlu ‘ain.” Maka Syaikh Al Albani menjawab: “Jika jihad di Afghanistan tidak benar, lalu di bumi mana jihad yang benar?!
Sesuatu yang wajar: Ibumu akan sakit. Dan kami memiliki sebuah kaedah bahwasanya kepentingan agama itu lebih didahulukan daripada kepentingan jiwa. Melindungi agama itu lebih didahulukan daripada melindungi jiwa. Sedangkan tidak berangkat jihad akan dapat melindungi nyawa kedua orang tua namun akan menghancurkan agama, lantaran meninggalkan jihad.
Ijin kepada kedua orang tua..! Dari mana alasannya harus ijin kepada kedua orang tua? Bagaimana engkau meminta ijin kepada kedua orang tua yang tidak berjihad? Bagaimana jika keduanya tidak pernah terlintas jihad dalam benak mereka berdua? Dan bagaimana jika mereka tidak pernah berfikir untuk berjihad atau membela negeri Islam? Bagi mereka gaji bulanan itu lebih berharga daripada kehormatan seluruh wanita Afghanistan, lebih berharga daripada darah seluruh orang Afghanistan, dan lebih berharga daripada Islam itu sendiri, yakni seandainya Islam punah … Seandainya dia disuruh memilih antara gaji dan pekerjaan dengan punahnya Islam, tentu dia lebih memilih gaji bulanan. Seperti ini kebanyakan orang tua sekarang, demikianlah mereka mengajarkan anak-anak mereka … ciumlah mulut anjing supaya kamu dapat mengambil apa yang kamu butuhkan darinya! Demikianlah mereka mengajari anak-anak mereka. Filsafat kehinaan, meskipun harus dengan mencium anjing yang najis, air liurnya yang najis, supaya kamu dapat mengambil apa yang kamu perlukan darinya.
Ada salah seorang pemuda yang bertanya kepadaku: “Ibuku marah karena aku datang ke medan jihad. Ibuku mengatakan: Aku akan marah kepadamu jika kamu tidak pulang. Maka aku katakan kepada pemuda tersebut: Semakin marah ibumu maka Alloh akan semakin ridlo kepadamu. Karena kamu pergi untuk mencari ridlo Alloh, dan kamu tidak mematuhi ibumu sedangkan dia adalah manusia.
Padahal di dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim disebutkan:
Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf.
Saya katakan kepada pemuda itu: Tidak ada seorang ulama’pun yang mengatakan wajib meminta ijin dalam melaksanakan hal-hal yang fardlu ‘ain, bahkan kepada seorang kholifah sekalipun, bahkan kepada Umar bin Abdul Aziz sekalipun.
Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam rangka bermaksiat kepada Kholiq. (Shohih Al Jami’ Ash Shoghir)
Ibnu Rusydi mengatakan: “Taat kepada imam itu hukumnya adalah wajib meskipun imam tersebut tidak adil meskipun ia fasiq kecuali jika ia memerintahkan untuk berbuat maksiat.. dan di antara kemaksiatan itu adalah jika ia melarang jihad yang fardlu ‘ain.” Yakni: jihad yang hukumnya menjadi fardlu ‘ain sedangkan Ibnu Rusydi dan Al Qurthubi adalah dari kalangan madzhab Maliki, maksudnya dalam hal ini siapapun yang melarangnya tidak boleh ditaati, karena yang boleh ditaati itu hanyalah hal-hal yang ma’ruf (kebaikan).
Ibnu Taimiyah di dalam Al Fatawa Al Kubromengatakan: “Adapun apabila musuh menyerang maka tidak ada celah perselisihan lagi (atas kewajiban melawannya). Karena sesungguhnya mempertahankan agama, jiwa dan kehormatan dari bahaya musuh itu hukumnya wajib berdasarkan ijma’, sehingga tidak diperlukan lagi untuk ijin kepada amirul mukminin.” Sampai di sini perkataan Ibnu Taimiyah.
Maka tidak diperlukan lagi untuk ijin kepada amirul mukminin, seandainya sekarang ini ada amirul mukminin.
Yang penting adalah: tidak perlu meminta ijin kepada kedua orang tua dalam hal-hal yang hukumnya fardlu ‘ain. Dalam hal-hal yang hukumnya fardlu ‘ain tidak diperlukan lagi ijin sama sekali, sampai kepada amirul mukminin sekalipun; seorang kholifah dari kalangan Bani Abbasiyah atau Bani Umawiyah.
Makruh atau haram hukumnya berperang tanpa ijin kepada kholifah kecuali dalam tiga keadaan:
Pertama: Apabila imam menihilkan jihad … tidak mau berjihad … kholifah yang semacam ini tidak perlu dimintai ijin.
Kedua: Apabila jika meminta izin itu akan menggagalkan tujuan dari jihad, sebagaimana dalam contoh yang telah kami sebutkan, karena jika Abu Tholhah dan Salamah harus meminta ijin terlebih dahulu tentu onta-onta Rosululloh berhasil dibawa pergi dari Madinah.
Ketiga: Apabila kita sebelumnya telah mengetahui bahwa iman tidak akan menerima dan tidak akan mengijinkan.
Kedua orang tua, maupun kepada kholifah, maupun siapapun di dunia ini tidak berhak untuk mencampuri kewajiban yang diwajibkan kepada kita, ia tidak berhak untuk dimintai persetujuan maupun untuk melarangnya.
Ijin Kepada Kedua Orang Tua.
Syaikh Bin Baz mengatakan: “Sekarang ini jihad di Afghanistan hukumnya fardlu ‘ain, akan tetapi wajib untuk meminta ijin kepada kedua orang tua.” Lalu saya mengatakan kepada beliau: “Wahai Syaikh kami, tidak ada seorang fuqoha’ pun sebelum anda yang berpendapat seperti ini. Semua fuqoha’ mengatakan: Sesungguhnya dalam hal-hal yang hukumnya fardlu ‘ain itu tidak ada permintaan ijin kepada siapapun.”
Beliau mengatakan: “Wahai Syaikh Abdulloh, ada sebuah hadits yang menyatakan:
Berjihadlah pada kedua orang tuamu. (potongan dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori).
Saya katakan kepada beliau: “Namun ada hadits lain yang berbunyi:
Demi (Alloh) yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku benar-benar akan tinggalkan keduanya lalu aku akan berangkat berjihad. Rosul bersabda: “Engkau lebih tahu.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban)
Beliau (Syaikh Bin Baz) berkata lagi: “Akan tetapi hadits yang pertama lebih kuat.”
Dalam memadukan pemahaman dua hadits tersebut Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fat-hul Baari: “Hadist yang pertama untuk jihad yang fardlu kifayah sedangkan hadits yang kedua adalah untuk jihad yang fardlu ‘ain.” Artinya ketika jihad fardlu ‘ain tidak diperlukan lagi izin kedua orang tua, sedangkan ketika jihad fardlu kifayah harus izin kedua orang tua. Sebenarnya saya malu untuk berdiskusi dengan beliau, dengan seorang seperti orang tua kami sendiri. Kemudian beliau mengatakan: “Wahai Syaikh Abdulloh, tetaplah engkau dengan fatwamu dan aku akan tetap dalam fatwaku. (Ini merupakan sebuah rekomendasi besar yang diberikan oleh Al ‘Allamah Bin Baz rohimahulloh kepada Syaikh Abdulloh Azzam rohimahulloh, artinya Syaikh Abdulloh Azzam adalah orang yang layak untuk berfatwa. Dan seandainya Syaikh Abdulloh Azzam salah tentu an nush-hu fid din (kewajiban untuk saling menasehati dalam masalah agama) itu menuntut kepada Syaikh Bin Baz wajib untuk menerangkan kesalahan Syaikh Abdulloh Azzam supaya ia tidak menyesatkan orang lain. Dan seandainya Syaikh Abdulloh Azzam salah tentu Syaikh Bin Baz tidak mengatakan kepadanya: “Tetaplah dalam fatwamu.”
Sedangkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Ibnu Utsaimin condong untuk berpendapat bahwa jihad sekarang ini hukumnya fardlu ‘ain.. jihad hukumnya fardlu ‘ain, dan tidak diperlukan lagi untuk meminta ijin kepada kedua orang tua… tidak wajib untuk meminta ijin kepada kedua orang tua kecuali jika ia adalah anak satu-satunya dan kedua orang tuanya membutuhkan kepada dirinya. Jika kedua orang tuanya membutuhkannya maka ia wajib meminta ijin kepada keduanya, namun jika keduanya tidak membutuhkannya maka tidak wajib untuk meminta ijin kepada keduanya. Ini adalah fatwa Ibnu Utsaimin dan Al Albani seminggu yang lalu belum lama . Lalu ada salah seorang yang hadir dalam majlis beliau mengatakan kepada beliau, sebagaimana yang disampaikan kepadaku oleh salah seorang yang hadir bersama kalian: “Wahai Syaikh, apabila jihad di Afghanistan itu benar, baru jihad itu fardlu ‘ain.” Maka Syaikh Al Albani menjawab: “Jika jihad di Afghanistan tidak benar, lalu di bumi mana jihad yang benar?!
Sesuatu yang wajar: Ibumu akan sakit. Dan kami memiliki sebuah kaedah bahwasanya kepentingan agama itu lebih didahulukan daripada kepentingan jiwa. Melindungi agama itu lebih didahulukan daripada melindungi jiwa. Sedangkan tidak berangkat jihad akan dapat melindungi nyawa kedua orang tua namun akan menghancurkan agama, lantaran meninggalkan jihad.
Ijin kepada kedua orang tua..! Dari mana alasannya harus ijin kepada kedua orang tua? Bagaimana engkau meminta ijin kepada kedua orang tua yang tidak berjihad? Bagaimana jika keduanya tidak pernah terlintas jihad dalam benak mereka berdua? Dan bagaimana jika mereka tidak pernah berfikir untuk berjihad atau membela negeri Islam? Bagi mereka gaji bulanan itu lebih berharga daripada kehormatan seluruh wanita Afghanistan, lebih berharga daripada darah seluruh orang Afghanistan, dan lebih berharga daripada Islam itu sendiri, yakni seandainya Islam punah … Seandainya dia disuruh memilih antara gaji dan pekerjaan dengan punahnya Islam, tentu dia lebih memilih gaji bulanan. Seperti ini kebanyakan orang tua sekarang, demikianlah mereka mengajarkan anak-anak mereka … ciumlah mulut anjing supaya kamu dapat mengambil apa yang kamu butuhkan darinya! Demikianlah mereka mengajari anak-anak mereka. Filsafat kehinaan, meskipun harus dengan mencium anjing yang najis, air liurnya yang najis, supaya kamu dapat mengambil apa yang kamu perlukan darinya.
Ada salah seorang pemuda yang bertanya kepadaku: “Ibuku marah karena aku datang ke medan jihad. Ibuku mengatakan: Aku akan marah kepadamu jika kamu tidak pulang. Maka aku katakan kepada pemuda tersebut: Semakin marah ibumu maka Alloh akan semakin ridlo kepadamu. Karena kamu pergi untuk mencari ridlo Alloh, dan kamu tidak mematuhi ibumu sedangkan dia adalah manusia.
Padahal di dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim disebutkan:
Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf.
Saya katakan kepada pemuda itu: Tidak ada seorang ulama’pun yang mengatakan wajib meminta ijin dalam melaksanakan hal-hal yang fardlu ‘ain, bahkan kepada seorang kholifah sekalipun, bahkan kepada Umar bin Abdul Aziz sekalipun.
0 Response to "Syarat dan Izin Jihad"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...