Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Sebelum penulis menguraikan karakteristik sosiologi hukum perlu dijelaskan lebih dahulu dimana letak sosiologi hukum didalam ilmu pengetahuan.
Sampai sejauh manakah hukum membentuk pola-pola prikelakuan atau apakah hukum yang terbentuk dari pola-pola kelakuan itu. Di dalam hal yang pertama, bagaimanakah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-pola kelakuan? Inikah yang merupakan ruang lingkup yang pertama dari sosiologi hukum.
Ruang lingkup yang selanjutnya menyangkut hukum dan pola-pola perikelakuan sebagai ciptaan serta wujud daripada keinginan-keinginan kelompok-kelompok sosial. Kekuatan-kekuatan apakah yang membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak pola-pola perikelakuan yang bersifat yuridis? Selanjutnya, suatu obyek yang tidak mendapat sorotan yang khusus dari ilmu hukum, akan tetapi merupakan bidang penelitian sosiologi hukum adalah hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya.
Untuk meneliti hal itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai hukum sebagai suatu gejala sosial. Jadi, pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serts faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.
Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga mencakup 2 (dua) hal, yaitu :
1. Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-kekeluargaan.
2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh :
UU PMA terhadap gejala ekonomi
UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik
UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza
UU Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan.
Sosiologi Hukum dalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis, contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada hukum dan lain-lain.
Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari :
1. Pendekatan Instrumental
Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat.
2. Pendekatan Hukum Alam
Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini, seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip Seznick).
3. Kontribusi Sosiologi Hukum Terhadap Perkembangan Ilmu Hukum
Bahwa perkembangan ilmu hukum di masa depan perlu diarahkan secara lebih empiris dan induktif daripada kecendrungan yang bersifat deduktif dan normatif seperti yang selama ini dikembangkan, ketika pradigma ini tidak mampu lagi menerangkan realitas yang diamatinya. Oleh karena itu, sisa-sisa dari materi pendidikan hukum dogmatik baru, diisi dengan materi yang sifatnya mengasah nalar. Misalnya Penalaran Hukum, Metodologi Hukum, Sosiologi Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum.[11]
Sosilogi hukum berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam sosial. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Pembidangan lebih khusus dari kajian sosiologi hukum, juga sering dilakukan oleh para sosiolog hukum. Gurvitch misalnya (1961: 82,83) memisahkan 3 masalah sosiologi hukum yaitu:
Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, yang merupakan telaah manifestasi hukum sebagai fungsi bentuk-bentuk kemasyarakatan dan taraf-taraf kenyataan sosial. Masalah-masalah ini dapat dipecahkan semata-mata dengan apa yang hendak kita sebut mikrososiologi hukum. Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, menelaah manifestasi-manifestasi hukum sebagai suatu fungsi satuan-satuan kolektif yang nyata, yang pemecahannya terdapat dalam tipologi hukum dari kelompok-kelompok terientu.
Masalah-masalah sosiologi hukum genetis, yang dianalisis dengan mikrososiologi hukum yang dinamis, menelaah keteraturan-keteraturan sebagai tendensi-tendensi dan faktor-faktor dari perubahan, perkembangan dan keruntuhan hukum di dalam suatu tipe masyarakat tertentu.
Pembidangan dari Gurvitch di atas terlalu rumit untuk tahap pengenalan sosiologi hukum. Jauh lebih baik jika kita membedakan sosiologi hukum ke dalam :Sosiologi hukum yang makro, yang berusaha untuk melihat hubungan antara hukum sebagai sistem, dengan bidang-bidang di luar hukum. Dan Sosiologi hukum yang mikro, yang berusaha membahas mengenai lingkungan pekerjaan terbatas di bidang hukum, seperti: Pengadilan, Kepolisian, Legislatif, dan Iain-lain.
Hukum dapat dipahami sebagai gejala masyarakat, maka keseluruhan kebiasaan hukum yang berlaku dalam masyarakat, merupakan obyek dari ilmu pengetahuan hukum. Tapi tentunya ilmu hukum saja tidak bisa bediri sendiri untuk mencatat setiap gejala-gejal yang timbul pada masyarakat yang ada, ia juga membutuhkan ilmu yang lain untuk tujuan tersebut, seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, dan antropologi hukum.
Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena hukum dari segi sosial mempunyai beberapa karakteristik study hukum secara sosiologis sebagai berikut:
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberian penjelasan terhadap praktek-prektek hukum. Apabila praktek itu di bedakan kedalam pembuatan undang-undang, penerapanya, dan pengadilanya, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Penjelasan sosiologi hukum atas alasan terjadinya praktek hukum dan faktor yang berpengaruh dalam pembentukanya, latar belakang, tujuan dsb. Penjelsan ini memang asing kedengaranya bagi studi hukum "tradisional", yang bersifat prespektif, yang hanya berkisar pada "apa hukumnya" dan "bagaimana penerapanya".
Maka Weber menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai interprestatif understanding, yaitu dengan cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku sosial. Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu "luar" dan "dalam".
Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah "Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?", "Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?". Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada p-eraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris).
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum,. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum sebagai obyektifitas semata dan dan bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang nyata.
Melihat kuantitas masyarakat Indonesia yang semakin hari semakin bertambah, yang berarti juga makin banyak kepentingan individu yang ada, dalam hal ini tentunya banyak sekali tumpang tindih kepentingan yang ada dalam pembentukan suatu hukum, dan tentunya akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Suara mayoritas selalu menentukan dalam hal ini, dan hal ini tidak menjamin suatu perbaikan dalam hukum.
Dengan demikian sosiologi hukum mempunyai arti penting dalam kajian ilmu hukum. Secara keseluruhan Kegunaan sosiologi hukum adalah sebagaiberikut:
1. Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tdk tertulis) di dlm ngr/masyarakat.
2. Mengetahui efektifitas berlakunya hukum positif di dalam masyarakat.
3. Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.
4. Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yg terjadi di masyarakat.
5. Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di masyarakat.
4. Contoh Permasalahan Hukum yang Membutuhkan Penjelasan dari Sosiologi Hukum: Tentang Praktek Pernikahan di Bawah Umur
Permasalahan nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by accident), dan lain-lain.
Di kampung penulis sendiri, kerap terjadi pernikahan di bawah umur, terutama pihak mempelai perempuan. Kesulitan ekonomi adalah penyebab utama terjadinya pernikahan dibawah umur. Kesulitan ekonomi juga berdampak pada rendahnya pendidikan, karena orang tua tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sehingga sang anak menjadi putus sekolah, rendahnya pendidikan menyebabkan kesulitan untuk mencari kerja.
Orang tua mempelai perempuan terpaksa mengizinkan anaknya menikah di bawah umur, disebabkan karena, harapan orang tua, yang merasa ketika anaknya sudah menikah, maka beban hidup sehari-hari menjadi tanggungan suaminya, sehingga beban ekonominya berkurang, dan juga berharap anaknya yang sudah menikah dapat membantu kebutuhan adik-daiknya. dan juga nilai-nilai agama setempat juga memperbolehkan anak perempuan menikah ketika sudah masuk masa balegh/mensturansi.
Pernikahan di bawah umur , selain menimbulkan masalah sosial, juga bisa menimbulkan masalah hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa sebagai contoh yang akhir-akhir ini ramai di media, membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.
Sampai sejauh manakah hukum membentuk pola-pola prikelakuan atau apakah hukum yang terbentuk dari pola-pola kelakuan itu. Di dalam hal yang pertama, bagaimanakah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-pola kelakuan? Inikah yang merupakan ruang lingkup yang pertama dari sosiologi hukum.
Ruang lingkup yang selanjutnya menyangkut hukum dan pola-pola perikelakuan sebagai ciptaan serta wujud daripada keinginan-keinginan kelompok-kelompok sosial. Kekuatan-kekuatan apakah yang membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak pola-pola perikelakuan yang bersifat yuridis? Selanjutnya, suatu obyek yang tidak mendapat sorotan yang khusus dari ilmu hukum, akan tetapi merupakan bidang penelitian sosiologi hukum adalah hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya.
Untuk meneliti hal itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai hukum sebagai suatu gejala sosial. Jadi, pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serts faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.
Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga mencakup 2 (dua) hal, yaitu :
1. Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-kekeluargaan.
2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh :
UU PMA terhadap gejala ekonomi
UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik
UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza
UU Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan.
Sosiologi Hukum dalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis, contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada hukum dan lain-lain.
Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari :
1. Pendekatan Instrumental
Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat.
2. Pendekatan Hukum Alam
Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini, seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip Seznick).
3. Kontribusi Sosiologi Hukum Terhadap Perkembangan Ilmu Hukum
Bahwa perkembangan ilmu hukum di masa depan perlu diarahkan secara lebih empiris dan induktif daripada kecendrungan yang bersifat deduktif dan normatif seperti yang selama ini dikembangkan, ketika pradigma ini tidak mampu lagi menerangkan realitas yang diamatinya. Oleh karena itu, sisa-sisa dari materi pendidikan hukum dogmatik baru, diisi dengan materi yang sifatnya mengasah nalar. Misalnya Penalaran Hukum, Metodologi Hukum, Sosiologi Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum.[11]
Sosilogi hukum berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam sosial. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Pembidangan lebih khusus dari kajian sosiologi hukum, juga sering dilakukan oleh para sosiolog hukum. Gurvitch misalnya (1961: 82,83) memisahkan 3 masalah sosiologi hukum yaitu:
Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, yang merupakan telaah manifestasi hukum sebagai fungsi bentuk-bentuk kemasyarakatan dan taraf-taraf kenyataan sosial. Masalah-masalah ini dapat dipecahkan semata-mata dengan apa yang hendak kita sebut mikrososiologi hukum. Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, menelaah manifestasi-manifestasi hukum sebagai suatu fungsi satuan-satuan kolektif yang nyata, yang pemecahannya terdapat dalam tipologi hukum dari kelompok-kelompok terientu.
Masalah-masalah sosiologi hukum genetis, yang dianalisis dengan mikrososiologi hukum yang dinamis, menelaah keteraturan-keteraturan sebagai tendensi-tendensi dan faktor-faktor dari perubahan, perkembangan dan keruntuhan hukum di dalam suatu tipe masyarakat tertentu.
Pembidangan dari Gurvitch di atas terlalu rumit untuk tahap pengenalan sosiologi hukum. Jauh lebih baik jika kita membedakan sosiologi hukum ke dalam :Sosiologi hukum yang makro, yang berusaha untuk melihat hubungan antara hukum sebagai sistem, dengan bidang-bidang di luar hukum. Dan Sosiologi hukum yang mikro, yang berusaha membahas mengenai lingkungan pekerjaan terbatas di bidang hukum, seperti: Pengadilan, Kepolisian, Legislatif, dan Iain-lain.
Hukum dapat dipahami sebagai gejala masyarakat, maka keseluruhan kebiasaan hukum yang berlaku dalam masyarakat, merupakan obyek dari ilmu pengetahuan hukum. Tapi tentunya ilmu hukum saja tidak bisa bediri sendiri untuk mencatat setiap gejala-gejal yang timbul pada masyarakat yang ada, ia juga membutuhkan ilmu yang lain untuk tujuan tersebut, seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, dan antropologi hukum.
Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena hukum dari segi sosial mempunyai beberapa karakteristik study hukum secara sosiologis sebagai berikut:
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberian penjelasan terhadap praktek-prektek hukum. Apabila praktek itu di bedakan kedalam pembuatan undang-undang, penerapanya, dan pengadilanya, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Penjelasan sosiologi hukum atas alasan terjadinya praktek hukum dan faktor yang berpengaruh dalam pembentukanya, latar belakang, tujuan dsb. Penjelsan ini memang asing kedengaranya bagi studi hukum "tradisional", yang bersifat prespektif, yang hanya berkisar pada "apa hukumnya" dan "bagaimana penerapanya".
Maka Weber menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai interprestatif understanding, yaitu dengan cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku sosial. Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu "luar" dan "dalam".
Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah "Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?", "Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?". Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada p-eraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris).
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum,. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum sebagai obyektifitas semata dan dan bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang nyata.
Melihat kuantitas masyarakat Indonesia yang semakin hari semakin bertambah, yang berarti juga makin banyak kepentingan individu yang ada, dalam hal ini tentunya banyak sekali tumpang tindih kepentingan yang ada dalam pembentukan suatu hukum, dan tentunya akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Suara mayoritas selalu menentukan dalam hal ini, dan hal ini tidak menjamin suatu perbaikan dalam hukum.
Dengan demikian sosiologi hukum mempunyai arti penting dalam kajian ilmu hukum. Secara keseluruhan Kegunaan sosiologi hukum adalah sebagaiberikut:
1. Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tdk tertulis) di dlm ngr/masyarakat.
2. Mengetahui efektifitas berlakunya hukum positif di dalam masyarakat.
3. Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.
4. Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yg terjadi di masyarakat.
5. Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di masyarakat.
4. Contoh Permasalahan Hukum yang Membutuhkan Penjelasan dari Sosiologi Hukum: Tentang Praktek Pernikahan di Bawah Umur
Permasalahan nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by accident), dan lain-lain.
Di kampung penulis sendiri, kerap terjadi pernikahan di bawah umur, terutama pihak mempelai perempuan. Kesulitan ekonomi adalah penyebab utama terjadinya pernikahan dibawah umur. Kesulitan ekonomi juga berdampak pada rendahnya pendidikan, karena orang tua tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sehingga sang anak menjadi putus sekolah, rendahnya pendidikan menyebabkan kesulitan untuk mencari kerja.
Orang tua mempelai perempuan terpaksa mengizinkan anaknya menikah di bawah umur, disebabkan karena, harapan orang tua, yang merasa ketika anaknya sudah menikah, maka beban hidup sehari-hari menjadi tanggungan suaminya, sehingga beban ekonominya berkurang, dan juga berharap anaknya yang sudah menikah dapat membantu kebutuhan adik-daiknya. dan juga nilai-nilai agama setempat juga memperbolehkan anak perempuan menikah ketika sudah masuk masa balegh/mensturansi.
Pernikahan di bawah umur , selain menimbulkan masalah sosial, juga bisa menimbulkan masalah hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa sebagai contoh yang akhir-akhir ini ramai di media, membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.
0 Response to "Ruang Lingkup Sosiologi Hukum"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...