Memilih Bertanggung Jawab atau Menanggung Malu

 
Salah satu tabiat syari’at islam adalah cocok untuk setiap masa dan tempat. Karena agama ini adalah agama terakhir yang diturunkan kepada Nabi akhir zaman, sehingga risalah yang dibawa pun bersifat universal. Untuk itulah maka peraturan-peraturan yang ada dalam syari’at islam pun bertujuan untuk kemaslahatan ummat manusia, atau sering diistilahkan oleh para pakar ushul fiqih sebagai maqashid as-syari’ah.

Yang dimaksud dengan Maqashid Syari’ah adalah : Tujuan, visi dan target yang ada di balik pensyari’atan hukum-hukum islam.

Tujuan-tujuan tersebut mencakup 5 hal : Menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta. Di antara contoh penerapan maqasid syari’ah dalam hukum islam adalah diharamkannya zina dan jalan-jalan yang bisa mengantarkan pada larangan tersebut.

Hikmah diharamkannya zina antara lain adalah untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan nasab. Sebab ketika seseorang sudah melakukan zina, maka korban paling menderita sebenarnya adalah anak yang dilahirkan dari perzinaan tadi. Karena nasab dari anak tersebut akan menjadi tidak jelas, sebab dia lahir dari hubungan yang tidak sah. Dalam penisbatan namanya –meskipun ayah biologisnya menikahi ibunya- menurut jumhur ulama dia tidak boleh dinisbatkan kepada ayahnya, namun dinisbatkan kepada nama umum atau kepada ibunya.

Selain lima tujuan yang disebutkan di atas, ada tujuan lain yang disebutkan oleh para pakar ushul fiqih dan masuk menjadi salah satu maqashid syari’ah, yaitu menjaga kehormatan.

Salah satu fitrah manusia adalah rasa suka atau rasa cinta kepada lawan jenisnya.  Dan islam tentu mengakui hal tersebut, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Namun pertanyaannya adalah pada bagaimana cara untuk mengekspresikan perasaan ini. Sebagai agama yang moderat maka agama islam berada di pertengahan, antara syari’at yang mengekang penuh hawa nafsu, sehingga melarang pemeluknya untuk menikmati karunia Allah yang berlimpah ruah, dan antara syari’at buatan yang terlalu membebaskan pemeluknya untuk mengumbar hawa nafsunya tanpa batas.          

Kita diizinkan untuk menikmati kenikmatan duniawi dan memenuhi kebutuhan biologis kita, namun ada rambu-rambu dan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Artinya jika diibaratkan sebagai kuda, maka hawa nafsu itu harus bisa kendalikan dengan tali kendali berupa syari’at islam.

Untuk itulah maka terdapat syari’at menikah. Di mana salah satu tujuan syari’at ini adalah untuk menjaga kehormatan, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana tergambar jelas dalam sabda Nabi -shallahu 'alaihi wa sallam “Wahai para pemuda, siapapun di antara kalian yang memiliki kemampuan (biologis atau finansial) maka hendaklah ia segera menikah. Karena hal tersebut bisa lebih menjaga pandangan dan kemaluannya. Dan bagi yang belum mampu hendaklah dia (memperbanyak) puasa, sebab hal tersebut bisa menjadi benteng untuknya.”

Di situ jelas terlihat bahwa Nabi memerintahkan para pemuda yang telah mampu baik secara biologis maupun finansial untuk segera menikah. Hal ini sebagai bentuk penjagaan kehormatannya dan kehormatan lawan jenis yang dia sukai. Agar dia bisa lebih menjaga pandangannya dari melihat hal yang tidak dihalalkan untuknya, maupun menjaga kehormatan dan harga dirinya.

Penjagaan terhadap harga diri ini pun bahkan sudah dimulai semenjak menuju ke jenjang pernikahan. Pada waktu proses khitbah (melamar) misalnya, meskipun terdapat dispensasi berupa nadhar (melihat kepada calon) namun mesti ada batasan-batasan yang harus diperhatikan. Di antaranya tidak boleh menyepi berduaan (khalwat) maupun melakukan kontak fisik.

Ketika sudah resmi lamaran diterima pun, status dua orang yang masih menikah juga masih bukan mahram, yang artinya batasan di atas yang disebutkan tadi masih belum boleh dilanggar. Barulah ketika akad ijab qabul sudah diucapkan kedua pasangan tadi resmi menjadi sepasang kekasih, di mana segala perbuatan yang jika sebelumnya bernilai dosa, saat itu dihalalkan bahkan bernilai pahala jika dilakukan mengharap ridlo Allah.

Cobalah kita bandingkan dengan fenomena yang sudah cukup lama menyebar di kalangan anak muda maupun tua saat ini. Meskipun tidak secara terang-terangan mendukung perzinahan, namun secara tidak langsung banyak yang memberikan toleransi terhadap jalan-jalan yang menuju ke sana.

Di antaranya, dengan alasan agar saling mengenal dan lebih memahami maka muncullah istilah pacaran yang sering didefinisikan sebagai tahapan awal atau perkenalan sebelum menuju jenjang pernikahan. Dengan harapan nanti pasca pernikahan lebih bisa mengenal pasangan dan mantap menuju ke jenjang berikutnya, dan tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Padahal jika melihat fenomena di lapangan, betapa banyak orang-orang yang pacaran bertahun-tahun, namun pernikahan mereka hanya bertahan beberapa bulan. Meskipun, jika difikir tentunya selama bertahun-tahun pacaran kedua pasangan tadi sudah saling mengenal seluk beluk masing-masing. Sebaliknya, banyak orang-orang dahulu yang meskipun mereka menikah karena dijodohkan, dalam artian tidak melalui proses pacaran, namun kehidupan rumah tangga mereka bertahan sampai kakek-nenek.

Di tambah lagi, banyak efek negatif yang ditimbulkan oleh pacaran ini. Di antaranya, dalam akad pacaran tidak ada perjanjian resmi yang mengikat dan konsekuensi hukum, baik secara tertulis maupun tidak tertulis bagi pihak yang melanggar akad tersebut. Misalnya, ketika di tengah jalan, salah satu pasangan memutuskan pacarnya, baik tanpa sebab maupun karena sebab yang jelas, maka sang pacar yang diputuskan tidak bisa menuntut mantannya untuk memberikan ganti rugi, meskipun sebelumnya hartanya telah dikuras habis.

Contoh lain, dalam pacaran ini tidak ada batasan maksimal putus nyambung. Sehingga berapa kali pun putus nyambung ini dilakukan selama keduanya ridho maka tidak ada masalah. Hal ini tentunya membuka peluang bagi kedua belah pihak untuk mempermainkan perasaan pihak lain, dengan seenaknya memutuskan hubungan bilateral itu ketika bosan, dan menyambungnya lagi ketika butuh.

Kasus lain, ketika misalnya -naudzubillah min dzalik- terjadi hal yang tidak diinginkan akibat terlalu bebasnya model pacaran yang dilakukan, maka kebanyakan dalam kasus ini sang perempuanlah yang menjadi korban. Sebab, tidak ada konsekuensi hukum yang jelas yang mengikat pihak laki-laki untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukan, apalagi ketika yang mereka lakukan berdasarkan asas suka sama suka.

Kecuali ketika hudud (syari’at islam) diterapkan, maka jika terbukti melakukan perzinahan -baik melalui pengakuan maupun 4 orang saksi yang adil- keduanya terkena konsekuensi hukum berupa cambuk sebanyak 100 kali atau diasingkan (bagi yang belum menikah) dan hukuman rajam (bagi yang sudah menikah). Meskipun dalam penerapannya tidak boleh dilakukan secara serampangan.

Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan aturan yang diberikan oleh islam, yaitu dalam hukum pernikahan. Di mana sejak awal, akad yang dilakukan merupakan akad sakral yang tidak bisa dipermainkan seenaknya. Karena setelah akad ini diucapkan maka banyak konsekuensi yang harus diataati oleh kedua pihak. Mulai dari mahar, kewajiban memberikan nafkah, baik secara finansial maupun biologis, memberikan tempat tinggal yang layak, bergaul dengan baik, saling menjaga rahasia, saling mewarisi dan lain-lain.

Ketika dalam perjalanan menempuh mahligai rumah tangga ini terjadi pertikaian hebat yang tidak bisa lagi didamaikan, maka ada solusi lain berupa talaq (perpisahan hubungan), yang tetap mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti tetap memberikan nafkah kepada istri yang ditalaq raj’i selama masa iddah, tetap memberikan nafkah kepada anak hasil pernikahan dan lain-lain.

Talaq pun dibatasi maksimal tiga kali, sehingga seorang suami dan istri meskipun masih bisa bersatu kembali, namun hanya dibatasi tiga kali. Dengan demikian seorang suami tidak akan semena-mena mempermainkan hubungan ini dengan putus nyambung seenaknya.

Dan ketika di perjalanan ada salah satu pihak yang menyepelakan kewajibannya, misalnya seorang suami yang meninggalkan istrinya begitu saja tanpa kabar atau tidak mau memberikan nafkah, maka berlaku hukum fasakh atau keputusan dari hakim untuk memutuskan hubungan pernikahan antara keduanya disebabkan adanya pelanggaran tadi.

Sampai di sini, terlihat jelas bahwa syari’at islam merupakan syari’at yang menuntut para pelakunya untuk memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi, terutama ketika dalam hal hubungan sosial (muamalah) dengan orang lain. Hal ini berbeda sekali dengan ‘syari’at buatan’ yang dibangun di atas dasar yang lemah dan hawa nafsu yang sangat rawan terhadap kekurangan, kontradiksi dan perampasan hak sesama.

Maka tinggal kita memilih di antara dua pilihan itu, peraturan yang dibangun dengan konsekuensi dan tanggung jawab ataukah yang dibangun dengan tendensi dan konsekuensi terburuk menanggung malu.

Sumber: rumahfiqih.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Memilih Bertanggung Jawab atau Menanggung Malu"

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...