Hukum Menyembunyikan Status Pernikahan
Istri saya dan keluarganya membohongi saya mengenai status pernikahannya yang sebelumnya. Pada saat saya bertunangan, status istri saya masih berperkara di pengadilan agama (masih status istri orang). Namun dia tidak menceritakan hal tersebut dan kemudian kita nikah siri pada saat putusan pengadilan agama istri saya tersebut belum selesai. Kemudian kita menikah secara resmi dan setelah itu saya tahu bahwa istri saya pada saat tunangan dan nikah siri masih dalam status istri orang (belum resmi bercerai namun sudah ditalak). Hal ini tidak pernah diceritakan oleh istri saya dan keluarganya, sekan-akan ditutup-tutupi agar istri saya bisa cepat menikah lagi dengan saya. Bolehkah saya menceraikan istri dan menuntut pidana keluarganya karena dengan sengaja melakukan penipuan status pernikahan sebelumnya?
http://niotolovo.blogspot.com/ |
Kami turut prihatin terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh Anda. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Berdasarkan cerita Anda, kami berkesimpulan bahwa:
- Istri Anda masih terikat dengan perkawinannya terdahulu saat menikah secara siri dengan Anda (sah secara hukum agama).
- Sebelum menikah dengan Anda secara resmi berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia (sah secara hukum positif), istri Anda sudah resmi bercerai dengan suaminya yang terdahulu dengan berdasar pada putusan dari pengadilan meskipun Anda baru mengetahuinya setelah menikah secara resmi dengannya. Artinya, sudah ada putusan cerai dari pengadilan sebelum menikah sah secara hukum dengan Anda.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, demikian bunyi Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan adalah:
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Selain alasan-alasan tersebut, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menambahkan dua alasan perceraian yang tidak disebut dalam UU Perkawinan yaitu:
1. Suami melanggar taklik talak;
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Menjawab pertanyaan Anda, jika melihat dari alasan-alasan perceraian yang disebut dalam UU Perkawinan dan KHI diatas, maka keinginan Anda bercerai karena sikap istri Anda yang menyembunyikan status pernikahan sebelumnya demi dapat menikah dengan Anda bukan merupakan alasan yang kuat bagi Anda untuk dapat menceraikannya. Menurut hemat kami, Anda sebaiknya menempuh upaya damai dengan bicarakan masalah ini baik-baik kepada istri dan keluarganya.
Berikutnya, sebelum menjawab pertanyaan Anda lainnya mengenai bisakah menuntut pidana istri Anda dan keluarganya atas dasar tindak pidana penipuan, terlebih dahulu kami perlu menguraikan unsur-unsur dalam tindak pidana penipuan. Mengenai tindak pidana penipuan terdapat dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan ini dinamakan “penipuan”. Penipu itu pekerjaannya (hal. 261):
1. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
2. maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
3. membujuknya itu dengan memakai:
a. nama palsu atau keadaan palsu; atau
b. akal cerdik (tipu muslihat); atau
c. karangan perkataan bohong.
Dari uraian unsur-unsur pasal di atas dapat diketahui bahwa sulit untuk bisa menerapkan pasal penipuan dalam kasus Anda. Hal ini karena unsur membujuk Anda supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang tidak terpenuhi.
Pernikahan Anda saat kondisi Anda tidak mengetahui status istri Anda yang masih terikat dengan pernikahan sebelumnya (pada saat tunangan dan menikah siri) tentu Anda lakukan bukan karena adanya bujukan dari istri maupun keluarganya supaya Anda memberikan barang membuat utang atau menghapuskan piutang dengan melawan hak. Dengan demikian, Anda tidak dapat menuntut istri dan keluarganya atas dasar tindak pidana penipuan.
Jika dilihat dari Pasal 279 KUHP, sekilas terlihat perbuatan istri Anda yang menyembunyikan status pernikahan sebelumnya demi menikah dengan Anda dapat diancam dengan hukuman pidana:
Pasal 279 KUHP:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 - 5 dapat dinyatakan.
Menurut R. Soesilo, suatu syarat supaya orang dapat dihukum menurut pasal ini ialah orang itu harus mengetahui bahwa ia dulu pernah kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan.
Berdasarkan Pasal 38 UU Perkawinan, perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,
b. perceraian, dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Dari sini jelas diketahui bahwa belum adanya putusan perceraian istri Anda dengan suaminya yang terdahulu oleh hakim menandakan perkawinan itu belum lepas. Anda mengatakan bahwa istri Anda menyembunyikan status perkawinannya saat menikah secara siri dengan Anda. Ada poin lain yang juga penting diperhatikan di sini.
KUHP ini tidak menjelaskan apakah perkawinan ke-dua (perkawinan berikutnya) itu harus dilaksanakan sah secara hukum positif atau hanya secara hukum agama saja. Jika yang dimaksud dengan pasal ini adalah perkawinan berikutnya itu bisa dilakukan baik secara siri maupun perkawinan yang sah berdasarkan hukum positif, maka istri Anda dapat dijerat dengan pasal ini.
Akan tetapi, jika yang dimaksud dengan pasal ini adalah perkawinan berikutnya tersebut harus dilakukan secara sah menurut hukum positif, istri Anda tidak bisa dijerat dengan pasal ini mengingat pernikahan sebelumnya telah sah lepas berdasarkan putusan pengadilan sebelum menikah secara hukum negara dengan Anda.
Sebagai informasi, menurut S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 215), yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahas Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Jika melihat pada pendapat S.R. Sianturi, dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah perkawinan yang berdasarkan hukum negara, bukan perkawinan berdasarkan hukum agama. Mengenai hal ini pada akhirnya akan diserahkan kepada pertimbangan hakim sendiri.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Kompilasi Hukum Islam.
0 Response to "Hukum Menyembunyikan Status Pernikahan"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...