Air Mutanajjis dalam Fiqih Thaharah
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampurdengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit, seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.
Dalam kasus bangkai anjing itu dibuang ke dalam danau yang luas, tentu tidak semua air di danau itu menjadi berubah najis, apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah tidak terhitung jumlah najis, tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah volume air laut, tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di dekatdekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka hukumnya juga ikut najis.
Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.
a. Berubah Rasa, Warna atau Aroma Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan baik air itu sedikit atau pun banyak.
Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi (arab kampung) yang kencing di dalam masjid :
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35).
2. Keadaan Air Lainnya
Selain keadaan air yang telah disebutkan di atas, 18 Sumur Budha`ah adalah nama sebuah sumur di kota Madinah yang airnya digunakan orang untuk mandi yaitu wanita yang haidh dan nifas serta istinja’ ada juga beberapa keadaan lain dari air yang mengandung hukum. Di antaranya adalah air musakhkhan (panas) baik karena dipanaskan oleh matahari (musyammasy) atau pun yang tidak.
Pada air yang volumenya sedikit, seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.
Dalam kasus bangkai anjing itu dibuang ke dalam danau yang luas, tentu tidak semua air di danau itu menjadi berubah najis, apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah tidak terhitung jumlah najis, tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah volume air laut, tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di dekatdekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka hukumnya juga ikut najis.
Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.
a. Berubah Rasa, Warna atau Aroma Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan baik air itu sedikit atau pun banyak.
Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi (arab kampung) yang kencing di dalam masjid :
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35).
2. Keadaan Air Lainnya
Selain keadaan air yang telah disebutkan di atas, 18 Sumur Budha`ah adalah nama sebuah sumur di kota Madinah yang airnya digunakan orang untuk mandi yaitu wanita yang haidh dan nifas serta istinja’ ada juga beberapa keadaan lain dari air yang mengandung hukum. Di antaranya adalah air musakhkhan (panas) baik karena dipanaskan oleh matahari (musyammasy) atau pun yang tidak.
0 Response to "Air Mutanajjis dalam Fiqih Thaharah"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...