Profesionalisme POLRI
Sebelum memulai menyoal dan mendiskusikan profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), terlebih dahulu perlu kiranya membentang tali-temali benang sejarah ketika Polri masih menyatu dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Fakta sejarah menunjukkan bahwa penyatuan Polri dan TNI/ABRI bukan merupakan pilihan yang tepat karena pada hakekatnya Polri tidaklah mengemban fungsi destruktif dan ofensif sebagaimana yang TNI/ABRI lakukan.
Akibat pola kerja Polri yang mirip dan bahkan sama dengan TNI/ABRI maka secara institusi pun Polri menjadi institusi yang bersifat militer dimana masyarakat selalu merasa takut kepada polisi apabila tertangkap/ditangkap dan dimasukkan ke rumah tahanan. Hal ini tentunya dapat dipahami bahwa dengan paradigma seperti ini maka sangat dimungkinkan akan terjadi penganiayaan kepada tersangka sebagaimana beberapa kasus-kasus di masa lampau yang pernah terjadi, seperti kasus matinya tersangka Tjetje Tadjuddin, kasus Fuad Syafruddin wartawan Bernas, kasus polisi yang menjadi pemicu dalam kerusuhan di Tasikmalaya dan kasus-kasus serupa lainnya yang merupakan fakta empiris bahwa polisi harus meningkatkan profesionalismenya dalam menunjang penegakkan hukum.
Merujuk pada faka-fakta di atas, gelombang saran dan bahkan protes terus didengungkan agar kiranya Polri dapat segera berbenah diri dalam menghadapi kompleksitas yang hadir disekelilingnya. Akhirnya, momentum bersejarah tersebut tiba, yaitu sejak tanggal 1 April 1999 Polri dan TNI/ABRI secara resmi berpisah dan berdiri sendiri. sebagaimana tertuang dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti: Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemisahan Polri dri TNI/ABRI, Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR Nomor VII/2000 Tentang Peran TNI dan Peran Polri, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan Kebijakan Strategis Kapolri 2002-2004.
Pemisahan Polri dan TNI/ABRI sebagaimana disebutkan dalam peraturan perundang-undangan di atas disadari sebagai momentum bersejarah yang sangat penting bagi Polri untuk berbuat lebh baik dalam melaksanakan fungsinya secara mandiri (tidak militeristik) dan bebas dari kekuasaan dan politik dari manapun (independen). Momentum sejarah ini dipandang sebagai sebuah awal (starting point) untuk memulai kehidupan masyarakat sipil (civil society) yang pada dasarnya merupakan gambaran utuh polisi sebagai warga sipil yang diberi tugas untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan rasa aman masyarakat. Momentum ini juga dipandang sebagai timing yang baik untuk mewujudkan profesionalisme Polri yang selalu dinanti-nantikan, sekaligus bahwa ide peningkatkan profesionalisme Polri ini merupakan penjabaran salah satu agenda reformasi Polri pasca reformasi 1998.
Oleh karena itu, tulisan dalam makalah ini akan lebih menekankan pada kajian dan analisis mengenai profesionalisme Polri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya termasuk didalamnya hal-hal yang menyoal kompleksitas masalah kebangsaan dan masalah internasional.
Apa Itu Profesionalisme Polisi?
Orang mudah mengatakan profesionalisme tetapi tak tahu ma’rifat dan hakekat profesionalisme. Merujuk pada pengertian dasar saja, profesionalisme sudah membentuk spektrum luas, yang terbaik tentunya adalah berada pada titik equilibrium, keseimbangan ma’rifat dan hakekat.
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, profesionalisme berasal dari kata dasar profesi yang berarti sebagai pekerjaan dengan pendidikan dan keahlian tertentu yang memerlukan kepandaian khusus dengan sistem penggajian terukur
Dalam praktek, banyak pekerjaan yang sekarang mengklaim dirinya sebagai profesi . Padahal , diuji dan dikaji dengan menggunakan standar profesi, tidak semua pekerjaan boleh disebut profesi dalam artian sesungguhnya. Profesi menuntut penguasaan suatu pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan yang panjang. Menurut Albert J. Reiss Jr, profesi pada dasarnya memiliki karakteristik yang tidak cukup dicerminkan melalui penguasaan pengetahuan, akan tetapi juga dipengaruhi pada hubungan pelaku profesi dan kliennya yang merupakan konsep inti (core conception) suatu profesi. Oleh karena itu, berdasarkan pada hubungan pelaku profesi dan kliennya, Albert J. Reiss mengatakan bahwa berbagai pekerjaan yang benar-benar berkualitas profesi yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi. sedangkan yang lainnya hanyalah berupa status.
Jika disimpulkan bahwa polisi merupakan profesi maka profesi polisi tersebut haruslah dilaksanakan secara profesionalisme. Dalam artian bahwa sebagai profesi dibutuhkan upaya pemolisian profesi, karena polisi merupakan suatu pekerjaan yang memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Seorang polisi yang profesionalisme digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme bagi Polisi sangat penting untuk ditingkatkan dan dimantapkan dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal.
Standardisasi Profesionalisme Polisi
Sebelum profesionalisme muncul sebagai standar yang diterima luas, terlebih dahulu akan diuraikan kualifikasi polisi yang menunjukkan betapa pekerjaan polisi banyak berkaitan dengan predeposisi individu para polisi. Coates membedakan 3 (tiga) tipe (kualifikasi) polisi yaitu:
1. The legalistic abusive officer, yaitu mereka yang menyadari perannya sebagai penjaga pelindung masyarakat serta nilai-nilai masyarakat, dan dengan cepat menggunakan kekuatan dan sangat otoriter;
2. The task officer, yang menjalankan tugasnya tanpa menggunakan nilai-nilainya sendiri dan hanya menjalankan hukum; dan
3. The community service officer, yang tidak menerapkan hukum dan bertindak sebagai penegak hukum, melainkan berusaha membantu masyarakat dan memecahkan persoalan.
Pengkualifikasian polisi sebagaimana diungkapkan oleh Coates, secara perlahan mengalami erosi sehingga dibutuhkan suatu gagasan baru menuju pada profesionalisme polisi yang tentunya menawarkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Gagasan perubahan tersebut timbul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang cepat. Perkembangan IPTEK yang tak dapat dihindarkan, berimplikasi pada pekerjaan polisi itu sendiri dimana polisi dituntut untuk bersikap profesionalisme dibidangnya (tidak amatir).
Pemanfaatan IPTEK oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya, menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri bahwa IPTEK menjadi salah satu standar bagi penetapan profesionalisme polisi.
Oleh karena itu, standar tersebut mensyaratkan, bahwa: Pertama, dibutuhkan latihan, ketrampilan, dan kemampuan khusus; Kedua, anggota kepolisian harus mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya; Ketiga, dalam menjalankan pekerjaannya, polisi membutuhkan suatu tingkat otonomi tertentu.
Penetapan IPTEK sebagai salah satu standardisasi profesionalisme polisi, lebih ditekankan pada kaidah bahwa modus operandi kejahatan semakin beragam sehingga dibutuhkan langkah-langkah pencegahan yang “mumpuni”. IPTEK yang terus berkembang pada babakan abad ke-20 dan ke-21 haruslah secara signifikan dapat diselaraskan dengan kaidah-kaidah teoritik dalam ilmu kepolisian dimana konsep pelayan masyarakat juga harus disinkronkan.
Disamping IPTEK, standardisasi profesionelisme polisi dapat dilihat pada tiga parameter sebagaimana yang dikemukan oleh Sullivan, sebagai berikut:
1. Well Motivation, yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam menjalankan tugasnya;
2. Well Education, yaitu seorang polisi harsu memiliki jenjang pendidikan yang baik seperti, Diploma, Sarjana (S1, S2, dan S3);
3. Well Salary, seorang polisi harus lah digaji dengan bayaran yang memadai untuk menunjang pekerjaanya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.
Well Motivation
Motivasi menjadi elemen penting yang tidak boleh dikesampingkan. Motivasi yang baik dari seseorang sebelum mengeluti pekerjaanya akan menentukan apa yang akan dilakukan oleh tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itu, seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan dirinya sebagai polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi, seseorang dituntut kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani masyarakat maupun dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan criminal lainnya.
Well Education
Jenjang pendidikan memainkan peranan yang sangat vital dalam membentuk kualitas seseorang. Idealnya seseorang yang berkualifikasi pendidikan yang baik akan tergambar melalui prilaku orang tersebut. Dalam konteks ini, seorang polisi dituntut untuk dapat memahami modus operandi kejahatan yang terus berkembang dan mengetahui perangkat hukum yang hendak diancamkan kepada penjahatnya (accussed). Untuk melakukannya maka kualifikasi pendidikan sangat dibutuhkan
Well Salary
Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang maksimal. Fakta menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding dengan penegak hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.
Disamping 3 (tiga) hal yang merupakan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana dikemukan oleh Sullivan di atas, Anton Tabah menambahkan 2 (dua) standardisasi lain yaitu well trained dan well equipments. Well Trained diartikan sebagai seorang polisi harus dibekali dengan pelatihan secara terus menerus melalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang sinkron mampu menjawab tantangan kepolisian yang actual dan tantangan di masa depan
Well Equipments diartikan sebagai tersediannya sarana dan prasarana yang cukup bagi institusi kepolisian serta penyediaan sistem dan sarana teknologi kepolisian yang baik agar seorang polisi dapat menjalankan tugas dengan baik.
Penetapan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana disepakati para pakar dan berlaku dalam praktek, telah menjadi acuan bagi penetapan ukuran profesionalisme di hampir seluruh negara-negara di dunia. Amerika Serikat misalnya, menetapkan standardisasi profesionalisme polisinya dengan mengemukan 4 (empat) kriteria seperti pelaksanaan tugas kepolisian secara ilmiah, petugas polisi haruslah terpelajar, mempunyai integritas profesionali, dan pemusatan pelayanan kepolisian dan konsilidasi satuan kepolisian sebagai unsur utama peningkatan efektifitas.
Uraian ke-4 standardisasi profesionalisme polisi di Amerika Serikat pada dasarnya selaras dengan apa yang dikemukan Sullivan dan Anton Tabah, hanya dalam redaksional yang berbeda. Fungsi polisi disini dititikberatkan pada upaya untuk menjalankan kontrol sosial dalam masyarakat baik yang bersifat pre-emtif, preventif, maupun refresif. yang tentunya fungsi ini terwadahi dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system). Oleh karena itu, profesionalisme polisi sebagai penegak hukum diarahkan secara ketat oleh hukum, dimana ia menjalankan perintah undang-undang dan dalam fungsi sebagai penjaga ketertiban, polisi bertanggung jawab pada masyarakat.
Profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Menakar standardisasi profesionalisme Polri tentunya berkiblat pada standardisasi yang sama sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Akan tetapi, penjabaran kriteria-kriteria tersebut tidaklah semudah yang tertulis. bentrok aparat kepolisian dengan mahasiswa di kampus UNAS, insiden kekerasan di Monas yang ditengarai sebagai akibat politik pembiaran dari kepolisian, serta hasil survei persepsi korupsi dari Tranparansi Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi terkorup di Indonesia setelah DPR, Lembaga Peradilan dan Partai Politik adalah fakta yang tidak dapat dielakkan betapa standardisasi profesionalisme Polri masih terus berproses untuk menemukan strategi yang tepat dalam pengimplementasiaannya.
Perumusan strategi pelaksanaan standardisasi profesionalisme Polri yang terus dilakukan Polri, dimaksudkan untuk memenuhi harapan masyarakat yang membutuhkan polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan serta tegas dalam penegakan hukum dapat tercapai. Oleh karena itu, langkah-langkah konkrit terus dilakukan oleh Polri untuk mencapai out-put sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Nomor 2 Tahun 2002, termasuk dengan menekankan pada perlunya aspek pembinaan profesi Polri. Ketentuan pembinaan profesi Polri dapat ditemukan pada Pasal 34 UU No.2 Tahun 2002, yaitu:
1. Sikap dan prilaku pejabat Polri terikat pada Kode Etik Profesi Polri.
2. Kode Etik Profesi Polri dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilingkungannya.
3. Ketentuan tentang Kode Etik Profesi Polri lebih lanjut diatur dengan Keputusan Kapolri.
Penegasan pembinaan profesi Polri adalah sebuah “sinyal” bahwa Polri terus berbenah terhadap kinerja Polri yang berfluktuasi dalam pencapaian prestasi kerja. Memahami bahwa profesi Polisi harus diselenggarakan professional, tuntutan mendasar yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud maka dapat dimulai dari proses rekrutmen anggota polisi yang baik (professional), yang kemudiaan anggota polisi tersebut dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang memadai serta ditunjang dengan sistem promosi dan analisis jabatan dalam tubuh Polri yang juga baik.
Persoalan rekrutmen anggota Polri disadari merupakan masalah pokok yang harus selalu mendapat perhatian serius dalam melaksanakan profesionalisme Polri. rekrutmen anggota Polri pada dasarnya telah dilakukan analisis jabatan yang berupa syarat administrasi, pendidikan, kesehatan, psikotes, dan berbagai tes lainnya. Akan tetapi dalam proses penentuan kelulusan dan tahap-tahap ujian yang dilalui masih terbuka peluang bagi adanya intervensi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Prilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan selama proses rekrutmen baik yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang maupun masyarakat. Hal ini mengakibatkan check dan balance dalam konteks melaksanakan fungsi kontrol tidak berjalan optimal.
Disamping faktor pengawasan yang rendah dalam pencapaian profesionalisme Polri, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk ditekankan dalam optimalisasi profesionalisme Polri yaitu komitmen moral. Menurut Pudi Rahardi, komitmen moral tersebut dapat ditemukan pada perumusan ciri-ciri profesionalisme Polri, sebagai berikut:
1. Jujur, taat terhadap kewajiban dan senantiasa menghormati hak-hak orang lain.
2. Tekad dalam jiwanya, setiap amal perbuatan dilandasi oleh niat untuk beribadah dan merupakan pengabdian dirinya kepada dan bagi kepentingan orang lain sebagai bukti adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Memiliki sifat, watak dan akhlak serta kepribadiaan dengan baik yang berlandaskan pada Taqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Amal perbuatannya senantiasa diawali dengan niat dan itikad baik dan untuk mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
5. Tidak akan bernat jelek terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, baik yang diamanahkan oleh masyarakat maupun amanah bangsa dan negara sesuai dengan hukum yang berlaku.
6. Memiliki kebanggaan pada profesinya dengan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa komitmen moral memegang peranan penting yang hakekatnya bukan hanya mengikat anggota Polri akan tetapi juga mengikat para pimpinan Polri. Dalam hal ini, pimpinan Polri menetapkan bahwa pejabat Polri harus memenuhi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Upaya penertiban setiap pejabat Polri yang mengemban fungsi reserse, dengan cara memberikan tanda pengenal sebagai pejabat penyidik yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian kepada masyarakat bahwa dirinya berhadapan petugas resmi.
2. Penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan Polri dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya.
3. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bawa standardisasi profesionalisme Polri yaitu: Well Motivation; well Education;Well Salary; Well Trained; Well Equipments; Fungsi Pengawasan; dan Komitmen Moral.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Polri
Seusai membingkai standardisasi profesionalisme Polri, hal terpenting yang menarik untuk didiskusikan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme Polri baik yang berasal dari eksternal maupun internal Polri. Faktor-faktor tersebut adalah:
Integritas Institusi
Lahirnya Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri merupakan momentum institusional yang menunjukkan eksistensi Polri sebagai penegak hukum yang mandiri atau otonom. Akan tetapi, 10 tahun pasca pemisahan secara institusional dampak atau pengaruh pengabungan TNI dan Polri masih sangat terasa. Hal ini dapat ditemukan pada proses penanganan kasus-kasus kamtibmas yang dilakukan Polri yang masih cenderung mengadopsi sisi desktrutifitas dalam penegakan hukum dibandingkan mengedepankan fungsi pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, secara institusi (birokrasi) Polri harus terus melakukan reorganisasi dalam tubuh Polri mulai dari tingkat markas besar (MABES) hingga tingkat wilayah. Sehingga secara institusi Polri perlahan tapi pasti dapat mensterilkan diri dari bias penggabungan TNI dan Polri yang pernah terjadi di masa lampau. Sebagai langkah nyata komitmen tersebut dapat dilihat pada upaya Polri di bidang instrumental, untuk melakukan penyempurnaan berbagai petunjuk pelaksanaan tugas dan pedoman kerja Polri sampai pada tataran operasional taktik dan teknik profesi kepolisian.
Reformasi institusi Polri tersebut diupayakan akan mempercepat pencapaian profesionalisme Polri, apalagi tuntutan zaman yang mengharuskan Polri dapat mengikuti dinamika masyarakat yang dalam setiap perubahan mengusung tema-tema HAM dan demokrasi. Tentunya, kompleksitas tema-tema HAM dan demokrasi, tidak hanya menjadi urusan lembaga kepolisian dalam konstelasi politik, akan tetapi juga terletak pada strategis penglibatan personil polisi yang bertugas sehari-hari sehingga para personil tersebut sanggup menjabarkan dan mempertanggungjawabkan implementasi HAM dan demokrasi secara rasional, argumentatif, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jika disepakati bahwa integritas kelembagaan Polri sangatlah penting untuk mendukung profesionalisme Polri secara organisasi, maka pekerjaan dan organisasi Polri harus berubah menuju pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge based works), dan sumber daya manusia (SDM) yang juga turut berubah kearah pekerja yang berpengetahuan (knowledge workers) serta ditunjang dengan tugas pekerjaan yang bersifat inovasi dan perhatian (innovation and caring).
Netralitas
Profesionalisme Polri harus dapat memberi jawaban terhadap tantangan dan tuntutan masyarakat abad ke-21 yang mendasarkan aktifitasnya pada IPTEK. Sejalan dengan perubahan tersebut, bidang dan atau sektor kehidupan dalam masyarakat juga bergerak menyesuaikan diri secara signifikan baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. sehingga out-put pekerjaan yang harapkan berbasis pada rasionalitas dan efisiensi.
Oleh karena itu, merunut sejarah kepolisian bahwa sukses awal dalam rangka menciptakan profesionalisme adalah dengan melepaskan diri dari pengaruh politik dan partisian politik, atau dengan kata lain netral. Netralitas dalam hal ini diartikan sebagai penempatan Polri sebagai pelayan publik bagi semua golongan masyarakat, bukan lagi terkait dengan satu atau lain golongan dalam masyarakat.
Terkait dengan netralitas Polri, ujian telah menanti di tahun 2009 ketika perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) digelar. sorotan tajam sekaligus sinis akan kembali dialamatkan pada Polri apakah Polri akan mampu menetralitaskan dirinya atau kemudian sebaliknya. Tentunya disadari bahwa Polri pada hakekatnya adalah institusi penegak hukum dan pelayan publik yang netral, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa banyak kendala yang timbul ketika netralitas Polri dari dimensi politik akan diwujudkan khususnya dalam menghadapi daya tahan , tekanan dan intervensi politik kekuasaan.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Tema KKN masih menjadi momok yang menakutkan dalam mengusung profesionalisme Polri. Erlyn Indarti, salah seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional, menilai Polri cenderung memosisikan profesional secara mengambang, bahkan lepas dari esensiâ. Ada tiga tugas pokok Polri, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sering kali jika penegakan hukum tak jalan, polisi dicap tidak profesional. Demikian pula sebaliknya, polisi sering mengklaim profesional jika dapat menekan laju kejahatan. Erlyn melihat keprofesionalan polisi tidak seperti itu.
Hubungan antara profesionalisme dengan segala komponen utama perpolisian Indonesia merupakan hubungan resiprokal sehingga tidak bisa serta-merta disebutkan jika polisi mampu menekan jumlah kejahatan, mereka pasti profesional sebab ini akan berakibat pada polisi hanya mengejar turunnya angka kejahatan agar dianggap profesional.
Erlyn lebih lanjut menyoroti legitimasi Polri yang merupakan interface untuk bisa melihat benang merah antara profesionalisme Polri dan tiga tugas pokok Polri tersebut. Tuntutan masyarakat kepada Polri sangat tinggi. Masyarakat berharap Polri harus bersih dan bebas KKN. Polri harus dekat dengan masyarakat dan Polri harus punya wibawa.
Kenyataannya, Polri belum terbebas dari KKN dan masih banyak anggota Polri yang tidak dekat dengan masyarakat. Juga cukup banyak anggota Polri yang tidak dihormati, dilempari saat terjadi peristiwa di berbagai daerah. Ini menunjukkan bahwa Polri masih dianggap belum profesional. Polisi dianggap belum memiliki kepakaran atau intelektual dan teoritika yang memadai. Polisi juga belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai harapan. Polri belum menghasilkan anggota yang memiliki legitimasi. Kompetensi polisi belum sepadan dengan tantangan tugas. Dari sisi kode etik dan disiplin, Polri masih dianggap belum berdisiplin dan berpegang pada kode etik kepolisian. Ada banyak fakta yang menunjukkan hal itu.
Sehubungan dengan pernyataan Erlyn, Mabes Polri menyatakan bahwa salah satu kelemahan yang dihadapi dalam mewujudkan profesionalisme Polri dari optik praktek KKN yaitu masih ditemukannya budaya “setor” dari bawahan kepada pimpinan dan prilaku fungli yang banyak dilakukan oleh anggota Polri.
Contoh lain yang dapat dikemukan untuk melihat bahwa praktek KKN masih terjadi di tubuh Polri yaitu sebagaimana dirilis oleh PTIK dan Kemitraan dengan merujuk pada penelitian skripsi seorang mahasiswa PTIK angkatan XXXIX-A, yang menyatakan bahwa praktek KKN terjadi pada satuan organisasi Polri seperti reserse kriminal, intelijen keamanan, samapta, lalu-lintas, personil, dan logistik.
Fakta-fakta di atas, tentunya, merupakan realitas yang tidak dapat dielakkan. Tetapi yang terpenting bahwa bagaimana budaya KKN ini secara perlahan dieliminasi dan kemudian ditiadakan sehingga ide profesionalisme Polri dapat sesegera mungkin tercapai.
Pengaruh Internasional
Perkembangan masyarakat internasional yang berkembang begitu pesat, mengharuskan Polri tanggap melihat dan mengikuti perkembangan tersebut. Beberapa agenda internasional seperti isu-isu demokrasi, lingkungan hidup, HAM, kejahatan computer, dan terrorisme menjadi sesuatu (pengetahuan) yang harus diketahui oleh Polri dalam menunjang tugas kesehariannya khususnya ketika menanggani kasus-kasus demokrasi, lingkungan hidup, HAM, dan terrorisme.
Oleh karena itu, penerapan dan pelaksanaan mekanisme pelaksanaan tugas Polri harus segera diselaraskan dengan baik dan benar dalam rangka untuk memperoleh legitimasi baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Contoh profesionalisme Polri yang baik untuk dikutip pada kesempatan ini adalah penanganan teorisme di Indonesia yang menggunakan sains dan teknologi (Scientific crime investigation) rumit untuk mengungkapnya, seperti pengungkapan Bom Bali yang goncang dunia Oktober 2002 dengan teknologi re-exting, pengungkapan bom Marriot Agustus 2004 dengan DVI (Disaster Victims Identi vication). Pengungkapan bom Kedubes Australia 9 September 2004 dengan kombinasi keduanya. Demikian pula kasus bom lainnya yang menggunakan teknologi komunikasi super canggih untuk menditeksi keberadaan tersangka sehingga Polri berhasil menangkap pelaku-pelaku penting, membongkar.
Contoh penerapan dan pelaksanaan mekanisme tugas Polri yang jelas sebagaimana terungkap pada kasus-kasus bom, haruslah dapat digunakan (applied) diseluruh lapisan kamtibmas.
Strategi Memantapkan Profesionalisme Polri
Seusai mengurai dan menganalisis standardisasi profesionalisme Polri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dibagian akhir tulisan ini akan menawarkan strategi yang dibutuhkan dalam mengokohkan standardisasi profesionalsime Polri yang telah ditetapkan.
Beberapa strategi yang digunakan yaitu dengan melakukan pergeseran paradigma Polri menuju kultur polisi sipil. Paradigma kultur polisi sipil ditetapkan dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
1. Transparansi, bahwa semua kinerja Polri bersifat open manajemen dan dapat dilakukan audit baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga independent dan profesionalisme lainnya.
2. Akuntabilitas, bahwa dalam setiap pelaksanaan tugas dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
3. Demokratis, bahwa segala bentuk tugas kepolisian mencerminkan pemahaman yang mendalam atas nilai-nilai demokratis.
4. Memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum.
5. Menjunjung tinggi HAM.
6. Bersifat protagonist, bahwa setiap tindakan yang dilakukan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
7. bersifat responsif, adil, tidak diskriminatif,dan profesionalisme modern.
Oleh karena itu, jika paradigma kultur polisi sipil itu dapat terwujud maka profesionalisme Polri akan berujung pada lahirnya sikap dan prilaku polisi sipil sebagai pelayan masyarakat yang transparan, tidak diskriminnatif dan menjunjung tinggi standar pelayanan prima.
Tentunya, disadari bahwa perubahan paradigma Polri ini akan membutuhkan waktu dalam pengimplementasiaan. Mind-set Polri sebagai the strong hand of society yang telah tertanam kokoh selama ini harus diubah menuju the soft hand of society The soft hand of society mengedepankan program kemitraan antara Polri dan masyarakat. Dalam konteks ini, Polri dan rakyat berada dalam level yang sama dan berhubungan secara horizontal, dimana Polri mengemban tugas untuk mengayomi, melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat. Sehingga, jika kaidah the soft hand of society dapat diwujudkan maka sorotan tajam terhadap kinerja Polri yang selama ini ditujukan ke institusi Polri akan tereliminasi dengan sendirinya.
Penutup
Perubahan paradigma Polri menuju polisi sipil yang profesionalis, modern dan demokratis adalah sesuatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh Polri dalam rangka mewujudkan fungsi penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme Polri diarahkan melalui pendekatan multi-dimensional dalam meningkatkan kualitas personil Polri dengan menekankan pada well motivation; well education; well salary; well trained; well equipments; fungsi pengawasan; dan komitmen moral.
Sumber
Akibat pola kerja Polri yang mirip dan bahkan sama dengan TNI/ABRI maka secara institusi pun Polri menjadi institusi yang bersifat militer dimana masyarakat selalu merasa takut kepada polisi apabila tertangkap/ditangkap dan dimasukkan ke rumah tahanan. Hal ini tentunya dapat dipahami bahwa dengan paradigma seperti ini maka sangat dimungkinkan akan terjadi penganiayaan kepada tersangka sebagaimana beberapa kasus-kasus di masa lampau yang pernah terjadi, seperti kasus matinya tersangka Tjetje Tadjuddin, kasus Fuad Syafruddin wartawan Bernas, kasus polisi yang menjadi pemicu dalam kerusuhan di Tasikmalaya dan kasus-kasus serupa lainnya yang merupakan fakta empiris bahwa polisi harus meningkatkan profesionalismenya dalam menunjang penegakkan hukum.
Merujuk pada faka-fakta di atas, gelombang saran dan bahkan protes terus didengungkan agar kiranya Polri dapat segera berbenah diri dalam menghadapi kompleksitas yang hadir disekelilingnya. Akhirnya, momentum bersejarah tersebut tiba, yaitu sejak tanggal 1 April 1999 Polri dan TNI/ABRI secara resmi berpisah dan berdiri sendiri. sebagaimana tertuang dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti: Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemisahan Polri dri TNI/ABRI, Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR Nomor VII/2000 Tentang Peran TNI dan Peran Polri, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan Kebijakan Strategis Kapolri 2002-2004.
Pemisahan Polri dan TNI/ABRI sebagaimana disebutkan dalam peraturan perundang-undangan di atas disadari sebagai momentum bersejarah yang sangat penting bagi Polri untuk berbuat lebh baik dalam melaksanakan fungsinya secara mandiri (tidak militeristik) dan bebas dari kekuasaan dan politik dari manapun (independen). Momentum sejarah ini dipandang sebagai sebuah awal (starting point) untuk memulai kehidupan masyarakat sipil (civil society) yang pada dasarnya merupakan gambaran utuh polisi sebagai warga sipil yang diberi tugas untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan rasa aman masyarakat. Momentum ini juga dipandang sebagai timing yang baik untuk mewujudkan profesionalisme Polri yang selalu dinanti-nantikan, sekaligus bahwa ide peningkatkan profesionalisme Polri ini merupakan penjabaran salah satu agenda reformasi Polri pasca reformasi 1998.
Oleh karena itu, tulisan dalam makalah ini akan lebih menekankan pada kajian dan analisis mengenai profesionalisme Polri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya termasuk didalamnya hal-hal yang menyoal kompleksitas masalah kebangsaan dan masalah internasional.
Apa Itu Profesionalisme Polisi?
Orang mudah mengatakan profesionalisme tetapi tak tahu ma’rifat dan hakekat profesionalisme. Merujuk pada pengertian dasar saja, profesionalisme sudah membentuk spektrum luas, yang terbaik tentunya adalah berada pada titik equilibrium, keseimbangan ma’rifat dan hakekat.
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, profesionalisme berasal dari kata dasar profesi yang berarti sebagai pekerjaan dengan pendidikan dan keahlian tertentu yang memerlukan kepandaian khusus dengan sistem penggajian terukur
Dalam praktek, banyak pekerjaan yang sekarang mengklaim dirinya sebagai profesi . Padahal , diuji dan dikaji dengan menggunakan standar profesi, tidak semua pekerjaan boleh disebut profesi dalam artian sesungguhnya. Profesi menuntut penguasaan suatu pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan yang panjang. Menurut Albert J. Reiss Jr, profesi pada dasarnya memiliki karakteristik yang tidak cukup dicerminkan melalui penguasaan pengetahuan, akan tetapi juga dipengaruhi pada hubungan pelaku profesi dan kliennya yang merupakan konsep inti (core conception) suatu profesi. Oleh karena itu, berdasarkan pada hubungan pelaku profesi dan kliennya, Albert J. Reiss mengatakan bahwa berbagai pekerjaan yang benar-benar berkualitas profesi yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi. sedangkan yang lainnya hanyalah berupa status.
Jika disimpulkan bahwa polisi merupakan profesi maka profesi polisi tersebut haruslah dilaksanakan secara profesionalisme. Dalam artian bahwa sebagai profesi dibutuhkan upaya pemolisian profesi, karena polisi merupakan suatu pekerjaan yang memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Seorang polisi yang profesionalisme digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme bagi Polisi sangat penting untuk ditingkatkan dan dimantapkan dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal.
Standardisasi Profesionalisme Polisi
Sebelum profesionalisme muncul sebagai standar yang diterima luas, terlebih dahulu akan diuraikan kualifikasi polisi yang menunjukkan betapa pekerjaan polisi banyak berkaitan dengan predeposisi individu para polisi. Coates membedakan 3 (tiga) tipe (kualifikasi) polisi yaitu:
1. The legalistic abusive officer, yaitu mereka yang menyadari perannya sebagai penjaga pelindung masyarakat serta nilai-nilai masyarakat, dan dengan cepat menggunakan kekuatan dan sangat otoriter;
2. The task officer, yang menjalankan tugasnya tanpa menggunakan nilai-nilainya sendiri dan hanya menjalankan hukum; dan
3. The community service officer, yang tidak menerapkan hukum dan bertindak sebagai penegak hukum, melainkan berusaha membantu masyarakat dan memecahkan persoalan.
Pengkualifikasian polisi sebagaimana diungkapkan oleh Coates, secara perlahan mengalami erosi sehingga dibutuhkan suatu gagasan baru menuju pada profesionalisme polisi yang tentunya menawarkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Gagasan perubahan tersebut timbul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang cepat. Perkembangan IPTEK yang tak dapat dihindarkan, berimplikasi pada pekerjaan polisi itu sendiri dimana polisi dituntut untuk bersikap profesionalisme dibidangnya (tidak amatir).
Pemanfaatan IPTEK oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya, menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri bahwa IPTEK menjadi salah satu standar bagi penetapan profesionalisme polisi.
Oleh karena itu, standar tersebut mensyaratkan, bahwa: Pertama, dibutuhkan latihan, ketrampilan, dan kemampuan khusus; Kedua, anggota kepolisian harus mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya; Ketiga, dalam menjalankan pekerjaannya, polisi membutuhkan suatu tingkat otonomi tertentu.
Penetapan IPTEK sebagai salah satu standardisasi profesionalisme polisi, lebih ditekankan pada kaidah bahwa modus operandi kejahatan semakin beragam sehingga dibutuhkan langkah-langkah pencegahan yang “mumpuni”. IPTEK yang terus berkembang pada babakan abad ke-20 dan ke-21 haruslah secara signifikan dapat diselaraskan dengan kaidah-kaidah teoritik dalam ilmu kepolisian dimana konsep pelayan masyarakat juga harus disinkronkan.
Disamping IPTEK, standardisasi profesionelisme polisi dapat dilihat pada tiga parameter sebagaimana yang dikemukan oleh Sullivan, sebagai berikut:
1. Well Motivation, yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam menjalankan tugasnya;
2. Well Education, yaitu seorang polisi harsu memiliki jenjang pendidikan yang baik seperti, Diploma, Sarjana (S1, S2, dan S3);
3. Well Salary, seorang polisi harus lah digaji dengan bayaran yang memadai untuk menunjang pekerjaanya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.
Well Motivation
Motivasi menjadi elemen penting yang tidak boleh dikesampingkan. Motivasi yang baik dari seseorang sebelum mengeluti pekerjaanya akan menentukan apa yang akan dilakukan oleh tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itu, seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan dirinya sebagai polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi, seseorang dituntut kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani masyarakat maupun dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan criminal lainnya.
Well Education
Jenjang pendidikan memainkan peranan yang sangat vital dalam membentuk kualitas seseorang. Idealnya seseorang yang berkualifikasi pendidikan yang baik akan tergambar melalui prilaku orang tersebut. Dalam konteks ini, seorang polisi dituntut untuk dapat memahami modus operandi kejahatan yang terus berkembang dan mengetahui perangkat hukum yang hendak diancamkan kepada penjahatnya (accussed). Untuk melakukannya maka kualifikasi pendidikan sangat dibutuhkan
Well Salary
Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang maksimal. Fakta menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding dengan penegak hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.
Disamping 3 (tiga) hal yang merupakan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana dikemukan oleh Sullivan di atas, Anton Tabah menambahkan 2 (dua) standardisasi lain yaitu well trained dan well equipments. Well Trained diartikan sebagai seorang polisi harus dibekali dengan pelatihan secara terus menerus melalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang sinkron mampu menjawab tantangan kepolisian yang actual dan tantangan di masa depan
Well Equipments diartikan sebagai tersediannya sarana dan prasarana yang cukup bagi institusi kepolisian serta penyediaan sistem dan sarana teknologi kepolisian yang baik agar seorang polisi dapat menjalankan tugas dengan baik.
Penetapan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana disepakati para pakar dan berlaku dalam praktek, telah menjadi acuan bagi penetapan ukuran profesionalisme di hampir seluruh negara-negara di dunia. Amerika Serikat misalnya, menetapkan standardisasi profesionalisme polisinya dengan mengemukan 4 (empat) kriteria seperti pelaksanaan tugas kepolisian secara ilmiah, petugas polisi haruslah terpelajar, mempunyai integritas profesionali, dan pemusatan pelayanan kepolisian dan konsilidasi satuan kepolisian sebagai unsur utama peningkatan efektifitas.
Uraian ke-4 standardisasi profesionalisme polisi di Amerika Serikat pada dasarnya selaras dengan apa yang dikemukan Sullivan dan Anton Tabah, hanya dalam redaksional yang berbeda. Fungsi polisi disini dititikberatkan pada upaya untuk menjalankan kontrol sosial dalam masyarakat baik yang bersifat pre-emtif, preventif, maupun refresif. yang tentunya fungsi ini terwadahi dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system). Oleh karena itu, profesionalisme polisi sebagai penegak hukum diarahkan secara ketat oleh hukum, dimana ia menjalankan perintah undang-undang dan dalam fungsi sebagai penjaga ketertiban, polisi bertanggung jawab pada masyarakat.
Profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Menakar standardisasi profesionalisme Polri tentunya berkiblat pada standardisasi yang sama sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Akan tetapi, penjabaran kriteria-kriteria tersebut tidaklah semudah yang tertulis. bentrok aparat kepolisian dengan mahasiswa di kampus UNAS, insiden kekerasan di Monas yang ditengarai sebagai akibat politik pembiaran dari kepolisian, serta hasil survei persepsi korupsi dari Tranparansi Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi terkorup di Indonesia setelah DPR, Lembaga Peradilan dan Partai Politik adalah fakta yang tidak dapat dielakkan betapa standardisasi profesionalisme Polri masih terus berproses untuk menemukan strategi yang tepat dalam pengimplementasiaannya.
Perumusan strategi pelaksanaan standardisasi profesionalisme Polri yang terus dilakukan Polri, dimaksudkan untuk memenuhi harapan masyarakat yang membutuhkan polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan serta tegas dalam penegakan hukum dapat tercapai. Oleh karena itu, langkah-langkah konkrit terus dilakukan oleh Polri untuk mencapai out-put sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Nomor 2 Tahun 2002, termasuk dengan menekankan pada perlunya aspek pembinaan profesi Polri. Ketentuan pembinaan profesi Polri dapat ditemukan pada Pasal 34 UU No.2 Tahun 2002, yaitu:
1. Sikap dan prilaku pejabat Polri terikat pada Kode Etik Profesi Polri.
2. Kode Etik Profesi Polri dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilingkungannya.
3. Ketentuan tentang Kode Etik Profesi Polri lebih lanjut diatur dengan Keputusan Kapolri.
Penegasan pembinaan profesi Polri adalah sebuah “sinyal” bahwa Polri terus berbenah terhadap kinerja Polri yang berfluktuasi dalam pencapaian prestasi kerja. Memahami bahwa profesi Polisi harus diselenggarakan professional, tuntutan mendasar yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud maka dapat dimulai dari proses rekrutmen anggota polisi yang baik (professional), yang kemudiaan anggota polisi tersebut dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang memadai serta ditunjang dengan sistem promosi dan analisis jabatan dalam tubuh Polri yang juga baik.
Persoalan rekrutmen anggota Polri disadari merupakan masalah pokok yang harus selalu mendapat perhatian serius dalam melaksanakan profesionalisme Polri. rekrutmen anggota Polri pada dasarnya telah dilakukan analisis jabatan yang berupa syarat administrasi, pendidikan, kesehatan, psikotes, dan berbagai tes lainnya. Akan tetapi dalam proses penentuan kelulusan dan tahap-tahap ujian yang dilalui masih terbuka peluang bagi adanya intervensi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Prilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan selama proses rekrutmen baik yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang maupun masyarakat. Hal ini mengakibatkan check dan balance dalam konteks melaksanakan fungsi kontrol tidak berjalan optimal.
Disamping faktor pengawasan yang rendah dalam pencapaian profesionalisme Polri, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk ditekankan dalam optimalisasi profesionalisme Polri yaitu komitmen moral. Menurut Pudi Rahardi, komitmen moral tersebut dapat ditemukan pada perumusan ciri-ciri profesionalisme Polri, sebagai berikut:
1. Jujur, taat terhadap kewajiban dan senantiasa menghormati hak-hak orang lain.
2. Tekad dalam jiwanya, setiap amal perbuatan dilandasi oleh niat untuk beribadah dan merupakan pengabdian dirinya kepada dan bagi kepentingan orang lain sebagai bukti adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Memiliki sifat, watak dan akhlak serta kepribadiaan dengan baik yang berlandaskan pada Taqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Amal perbuatannya senantiasa diawali dengan niat dan itikad baik dan untuk mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
5. Tidak akan bernat jelek terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, baik yang diamanahkan oleh masyarakat maupun amanah bangsa dan negara sesuai dengan hukum yang berlaku.
6. Memiliki kebanggaan pada profesinya dengan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa komitmen moral memegang peranan penting yang hakekatnya bukan hanya mengikat anggota Polri akan tetapi juga mengikat para pimpinan Polri. Dalam hal ini, pimpinan Polri menetapkan bahwa pejabat Polri harus memenuhi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Upaya penertiban setiap pejabat Polri yang mengemban fungsi reserse, dengan cara memberikan tanda pengenal sebagai pejabat penyidik yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian kepada masyarakat bahwa dirinya berhadapan petugas resmi.
2. Penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan Polri dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya.
3. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bawa standardisasi profesionalisme Polri yaitu: Well Motivation; well Education;Well Salary; Well Trained; Well Equipments; Fungsi Pengawasan; dan Komitmen Moral.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Polri
Seusai membingkai standardisasi profesionalisme Polri, hal terpenting yang menarik untuk didiskusikan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme Polri baik yang berasal dari eksternal maupun internal Polri. Faktor-faktor tersebut adalah:
Integritas Institusi
Lahirnya Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri merupakan momentum institusional yang menunjukkan eksistensi Polri sebagai penegak hukum yang mandiri atau otonom. Akan tetapi, 10 tahun pasca pemisahan secara institusional dampak atau pengaruh pengabungan TNI dan Polri masih sangat terasa. Hal ini dapat ditemukan pada proses penanganan kasus-kasus kamtibmas yang dilakukan Polri yang masih cenderung mengadopsi sisi desktrutifitas dalam penegakan hukum dibandingkan mengedepankan fungsi pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, secara institusi (birokrasi) Polri harus terus melakukan reorganisasi dalam tubuh Polri mulai dari tingkat markas besar (MABES) hingga tingkat wilayah. Sehingga secara institusi Polri perlahan tapi pasti dapat mensterilkan diri dari bias penggabungan TNI dan Polri yang pernah terjadi di masa lampau. Sebagai langkah nyata komitmen tersebut dapat dilihat pada upaya Polri di bidang instrumental, untuk melakukan penyempurnaan berbagai petunjuk pelaksanaan tugas dan pedoman kerja Polri sampai pada tataran operasional taktik dan teknik profesi kepolisian.
Reformasi institusi Polri tersebut diupayakan akan mempercepat pencapaian profesionalisme Polri, apalagi tuntutan zaman yang mengharuskan Polri dapat mengikuti dinamika masyarakat yang dalam setiap perubahan mengusung tema-tema HAM dan demokrasi. Tentunya, kompleksitas tema-tema HAM dan demokrasi, tidak hanya menjadi urusan lembaga kepolisian dalam konstelasi politik, akan tetapi juga terletak pada strategis penglibatan personil polisi yang bertugas sehari-hari sehingga para personil tersebut sanggup menjabarkan dan mempertanggungjawabkan implementasi HAM dan demokrasi secara rasional, argumentatif, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jika disepakati bahwa integritas kelembagaan Polri sangatlah penting untuk mendukung profesionalisme Polri secara organisasi, maka pekerjaan dan organisasi Polri harus berubah menuju pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge based works), dan sumber daya manusia (SDM) yang juga turut berubah kearah pekerja yang berpengetahuan (knowledge workers) serta ditunjang dengan tugas pekerjaan yang bersifat inovasi dan perhatian (innovation and caring).
Netralitas
Profesionalisme Polri harus dapat memberi jawaban terhadap tantangan dan tuntutan masyarakat abad ke-21 yang mendasarkan aktifitasnya pada IPTEK. Sejalan dengan perubahan tersebut, bidang dan atau sektor kehidupan dalam masyarakat juga bergerak menyesuaikan diri secara signifikan baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. sehingga out-put pekerjaan yang harapkan berbasis pada rasionalitas dan efisiensi.
Oleh karena itu, merunut sejarah kepolisian bahwa sukses awal dalam rangka menciptakan profesionalisme adalah dengan melepaskan diri dari pengaruh politik dan partisian politik, atau dengan kata lain netral. Netralitas dalam hal ini diartikan sebagai penempatan Polri sebagai pelayan publik bagi semua golongan masyarakat, bukan lagi terkait dengan satu atau lain golongan dalam masyarakat.
Terkait dengan netralitas Polri, ujian telah menanti di tahun 2009 ketika perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) digelar. sorotan tajam sekaligus sinis akan kembali dialamatkan pada Polri apakah Polri akan mampu menetralitaskan dirinya atau kemudian sebaliknya. Tentunya disadari bahwa Polri pada hakekatnya adalah institusi penegak hukum dan pelayan publik yang netral, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa banyak kendala yang timbul ketika netralitas Polri dari dimensi politik akan diwujudkan khususnya dalam menghadapi daya tahan , tekanan dan intervensi politik kekuasaan.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Tema KKN masih menjadi momok yang menakutkan dalam mengusung profesionalisme Polri. Erlyn Indarti, salah seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional, menilai Polri cenderung memosisikan profesional secara mengambang, bahkan lepas dari esensiâ. Ada tiga tugas pokok Polri, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sering kali jika penegakan hukum tak jalan, polisi dicap tidak profesional. Demikian pula sebaliknya, polisi sering mengklaim profesional jika dapat menekan laju kejahatan. Erlyn melihat keprofesionalan polisi tidak seperti itu.
Hubungan antara profesionalisme dengan segala komponen utama perpolisian Indonesia merupakan hubungan resiprokal sehingga tidak bisa serta-merta disebutkan jika polisi mampu menekan jumlah kejahatan, mereka pasti profesional sebab ini akan berakibat pada polisi hanya mengejar turunnya angka kejahatan agar dianggap profesional.
Erlyn lebih lanjut menyoroti legitimasi Polri yang merupakan interface untuk bisa melihat benang merah antara profesionalisme Polri dan tiga tugas pokok Polri tersebut. Tuntutan masyarakat kepada Polri sangat tinggi. Masyarakat berharap Polri harus bersih dan bebas KKN. Polri harus dekat dengan masyarakat dan Polri harus punya wibawa.
Kenyataannya, Polri belum terbebas dari KKN dan masih banyak anggota Polri yang tidak dekat dengan masyarakat. Juga cukup banyak anggota Polri yang tidak dihormati, dilempari saat terjadi peristiwa di berbagai daerah. Ini menunjukkan bahwa Polri masih dianggap belum profesional. Polisi dianggap belum memiliki kepakaran atau intelektual dan teoritika yang memadai. Polisi juga belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai harapan. Polri belum menghasilkan anggota yang memiliki legitimasi. Kompetensi polisi belum sepadan dengan tantangan tugas. Dari sisi kode etik dan disiplin, Polri masih dianggap belum berdisiplin dan berpegang pada kode etik kepolisian. Ada banyak fakta yang menunjukkan hal itu.
Sehubungan dengan pernyataan Erlyn, Mabes Polri menyatakan bahwa salah satu kelemahan yang dihadapi dalam mewujudkan profesionalisme Polri dari optik praktek KKN yaitu masih ditemukannya budaya “setor” dari bawahan kepada pimpinan dan prilaku fungli yang banyak dilakukan oleh anggota Polri.
Contoh lain yang dapat dikemukan untuk melihat bahwa praktek KKN masih terjadi di tubuh Polri yaitu sebagaimana dirilis oleh PTIK dan Kemitraan dengan merujuk pada penelitian skripsi seorang mahasiswa PTIK angkatan XXXIX-A, yang menyatakan bahwa praktek KKN terjadi pada satuan organisasi Polri seperti reserse kriminal, intelijen keamanan, samapta, lalu-lintas, personil, dan logistik.
Fakta-fakta di atas, tentunya, merupakan realitas yang tidak dapat dielakkan. Tetapi yang terpenting bahwa bagaimana budaya KKN ini secara perlahan dieliminasi dan kemudian ditiadakan sehingga ide profesionalisme Polri dapat sesegera mungkin tercapai.
Pengaruh Internasional
Perkembangan masyarakat internasional yang berkembang begitu pesat, mengharuskan Polri tanggap melihat dan mengikuti perkembangan tersebut. Beberapa agenda internasional seperti isu-isu demokrasi, lingkungan hidup, HAM, kejahatan computer, dan terrorisme menjadi sesuatu (pengetahuan) yang harus diketahui oleh Polri dalam menunjang tugas kesehariannya khususnya ketika menanggani kasus-kasus demokrasi, lingkungan hidup, HAM, dan terrorisme.
Oleh karena itu, penerapan dan pelaksanaan mekanisme pelaksanaan tugas Polri harus segera diselaraskan dengan baik dan benar dalam rangka untuk memperoleh legitimasi baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Contoh profesionalisme Polri yang baik untuk dikutip pada kesempatan ini adalah penanganan teorisme di Indonesia yang menggunakan sains dan teknologi (Scientific crime investigation) rumit untuk mengungkapnya, seperti pengungkapan Bom Bali yang goncang dunia Oktober 2002 dengan teknologi re-exting, pengungkapan bom Marriot Agustus 2004 dengan DVI (Disaster Victims Identi vication). Pengungkapan bom Kedubes Australia 9 September 2004 dengan kombinasi keduanya. Demikian pula kasus bom lainnya yang menggunakan teknologi komunikasi super canggih untuk menditeksi keberadaan tersangka sehingga Polri berhasil menangkap pelaku-pelaku penting, membongkar.
Contoh penerapan dan pelaksanaan mekanisme tugas Polri yang jelas sebagaimana terungkap pada kasus-kasus bom, haruslah dapat digunakan (applied) diseluruh lapisan kamtibmas.
Strategi Memantapkan Profesionalisme Polri
Seusai mengurai dan menganalisis standardisasi profesionalisme Polri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dibagian akhir tulisan ini akan menawarkan strategi yang dibutuhkan dalam mengokohkan standardisasi profesionalsime Polri yang telah ditetapkan.
Beberapa strategi yang digunakan yaitu dengan melakukan pergeseran paradigma Polri menuju kultur polisi sipil. Paradigma kultur polisi sipil ditetapkan dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
1. Transparansi, bahwa semua kinerja Polri bersifat open manajemen dan dapat dilakukan audit baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga independent dan profesionalisme lainnya.
2. Akuntabilitas, bahwa dalam setiap pelaksanaan tugas dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
3. Demokratis, bahwa segala bentuk tugas kepolisian mencerminkan pemahaman yang mendalam atas nilai-nilai demokratis.
4. Memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum.
5. Menjunjung tinggi HAM.
6. Bersifat protagonist, bahwa setiap tindakan yang dilakukan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
7. bersifat responsif, adil, tidak diskriminatif,dan profesionalisme modern.
Oleh karena itu, jika paradigma kultur polisi sipil itu dapat terwujud maka profesionalisme Polri akan berujung pada lahirnya sikap dan prilaku polisi sipil sebagai pelayan masyarakat yang transparan, tidak diskriminnatif dan menjunjung tinggi standar pelayanan prima.
Tentunya, disadari bahwa perubahan paradigma Polri ini akan membutuhkan waktu dalam pengimplementasiaan. Mind-set Polri sebagai the strong hand of society yang telah tertanam kokoh selama ini harus diubah menuju the soft hand of society The soft hand of society mengedepankan program kemitraan antara Polri dan masyarakat. Dalam konteks ini, Polri dan rakyat berada dalam level yang sama dan berhubungan secara horizontal, dimana Polri mengemban tugas untuk mengayomi, melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat. Sehingga, jika kaidah the soft hand of society dapat diwujudkan maka sorotan tajam terhadap kinerja Polri yang selama ini ditujukan ke institusi Polri akan tereliminasi dengan sendirinya.
Penutup
Perubahan paradigma Polri menuju polisi sipil yang profesionalis, modern dan demokratis adalah sesuatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh Polri dalam rangka mewujudkan fungsi penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme Polri diarahkan melalui pendekatan multi-dimensional dalam meningkatkan kualitas personil Polri dengan menekankan pada well motivation; well education; well salary; well trained; well equipments; fungsi pengawasan; dan komitmen moral.
Sumber
0 Response to "Profesionalisme POLRI"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...