Esensi Pemilu
Berdasarkan konvensi Montevideo[1] tahun 1933, rakyat diakui sebagai salah satu entitas penting berdirinya Negara.Negara tidak bisa berdiri, kokoh dan kuat tanpa rakyat yang menjadi penopangnya. Rakyatlah yang berdaulat sehingga Negara pada akhirnya mendapatkan pengakuan oleh Negara lain sehingga memiliki kedaulatan ke dalam maupun ke daulatan keluar.
Bersamaan dengan itu ditegaskan pula oleh para pemikir teori berdirinya Negara seperti Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jeacques Rousseau dalam teori perjanjian (puctum subjectionis, puctum unionis) rakyat tidak sepenuhnya, haknya diserahkan/ digadaikan kepada sang “raja” atau penguasa yang sedang menanggung amanat rakyat. Ada hak-hak dasar yang tidak bias dirampas oleh raja dalam melaksanakan amanat rakyat, sebagai tindak lanjut mengatur kekuasaan dan cara menyalurkan tugas lembaga-lembaga Negara itu.
Dari pemahaman itulah muncul konsep demokrasi dan Negara hukum.Demokrasi dan Negara hukum setali tiga uang bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena demokrasi tanpa hukum maka akan terjadi kesewenang-wenangan. Raja akan memanipulasi kepantingan rakyat tersebut hanya untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan semata.
Dalam sebuah episode perjalanan panjang, milenesto demokrasi tidak lahir begitu saja.Berawal dari pemikir demokrasi yang mengkritik sistem pemerintahan yang cenderung despotis, hingga raja dengan merasa tulus akhirnya melepaskan sikap otoritariannya, agar lebih dominan mengutamakan kepentingan rakyat dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Negara jaga malam(nachwaterstaat) yang hanya mengatur masalah ketertiban diformat dalam konsep lebih menitikberatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat.Konsep tersebut menjadi dasar pembentukan Negara-negara kesejahteraan, dari Negara maju hingga Negara berkembang.Tentu dikenal kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum sebagai bahagian perjuangan mencari pemerintahan yang ideal.
Kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum adalah dua jenis kedaulatan yang hingga akhir ini tidak pernah habis untuk diperbincangkan.Dalam mencari format yang dapat mengkombinasikan keduanya. Kedaulatan rakyat adalah cikal bakal lahirnya konsep demokrasi, sementara kedaulatan hukum cikal bakal yang melahirkan nomokrasi: nomos dan cracy(Negara hukum/ recht staat/ rule of law).Sehingga antara demokrasi dan nomokrasi tidak dapat dipisahkan sebagai salah satu teori yang mendasari legitimasi kekuasaan dapat menjalankan pemerintahan yang tidak despotis lagi.
Dalam konteks ini, demokrasi selalu dikatakan sebagai sistem yang tiada duanya atau tidak ada pilihan lain untuk menggunakannya sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik. Karena tidak ada sistem pemerintahan yang lebih layak dan baik, yang dapat digunakan selain demokrasi.
Demokrasi secara istilah berasal dari kata demos dan cratein. Demos berarti rakyat, sedangkan cratein berarti pemerintahan.Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan kepentingan rakyat.Semata-semata semua kepentingan rakyat tersublimasi melalui perwakilannya di lembaga Negara.Di ranah ini pulalah terbagi demokrasi dalam bentuk demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.Oleh pemikir atau Mazhab Frankfrut juga memunculkan demokrasi yang dikenal sebagai demokrasi deliberatif.Adalah demokrasi yang menjunjung partisipasi rakyat tanpa memutus peran rakyat dalam setiap penyusunan kebijakan pemerintahan. Hinngga antara pemerintah dan rakyat terbangundalam komunikasi yang partisipatoris.
Menurut Fransisco Budi Hardiman[2] mendefeniskan demokrasi deliberatif berarti bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan sebuah kehendak umum yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimasi itu adalah proses formasi deliberatif, argumentatif diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk revisi.
Apayang diungkap oleh Budi Hardiman, legitimitas sebuah aturan adalah membutuhkan uji kelayakan publik, agar tidak memicu keguncangan terhadap partsipan hukum. Ketika aturan itu diterapkan.Oleh sebab itu Yudi Latif[3] menegaskan bahwa demokrasi deliberatif dalam menjalankan keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi empat syarat.Pertama, harus didasarkan pada fakta, bukan hanya berdasarkansubjektivitas ideologis.Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan pada demi kepentingan jangka pendek politik dagang sapi yang bersifat kompromistis. Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif. Dalam model itu,legitimasi demokrasi tidak ditentukan oleh seberapa banyak dukungan atas suatu keputusan, melainkan seberapa luas dan dalam melibatkan proses deliberasi.
Jika diperhatikan baik, demokrasi deliberatif lebih banyak menyoroti pada pengambilan keputusan, atau pada penciptaan Undang-undang yang akan mengatur semua kebijakan baik yang menentukan tugas dan kewenangan semua lembaga Negara maupun regulasi yang dibentuk untuk tujuan hukum materil (seperti hukum pidana dan perdata) ataukah peraturan yang sifatnya umum abstrak, dikenal sebagai regeling dalam klasifikasi aturan berdasarkan Ilmu Hukum Administrasi Negara.
Berbeda dengan demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung lebih erat membahas materi pengisian jabatan dalam lembaga Negara. Apakah secara langsung atau secara tidak langsung ?menjadi wakil atau penyalur aspirasi rakyat. Pada posisi yang demikian demokrasi menjadi teori yang sangat penting untuk menggerakan cara atau alat melalui pemilu dapat mewujudkan demokrasi yang seutuhnya tercipta berdasarkan keputusan dan kemauan rakyat.
Tidak ada cara atau sarana lain yang dapat digunakan selain pemilu yang dapat mengejawantahkan teori perjanjian rakyat kalau bukan melalui pemilu. Dan semua Negara yang mengakui dan menganut demokrasi di dunia melaksanakan pemilu agar dapat mewujudkan demokrasi. Hal tersebut menyebabkan tesis Fukuyama[4] tidak ada yang dapat membantahnya kalau demokrasi liberal sebagai puncak kemenangan yang ahirnya dianut oleh Negara berkembang, bahkan Negara Islampun diakui oleh Fukuyama pada akhirnya juga akan menganut demokrasi.
Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai anak kandung demokrasi yang dijalankan untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat dalam fenomena ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Melalui pemilu pula dapat terwujud dua konsep demokrasi dan Negara hukum yang telah diamanatkan dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 2 “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang.Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 ditegaskan “Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.”
Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government).Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif.
Menurut Robert Dahl[5], bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis.
Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.
Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut.Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat.
Pemilihan umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pemilu sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku.Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya.Dengan begitu, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg[6], fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat sporadik dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa.Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat.Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya (Edelman, 171, Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966). Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya.
Gramsci[7] bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi.Terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrasi itu sendiri.
Pemilihan akan sistem pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi, kebanyakan dari sistem pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena dipilih, melainkan karena kondisi yang ada di dalam masyarakat serta sejarah yang mempengaruhinya. Untuk menguraikan substansi dalam pemilu, selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan lebih lanjut pendefenisian pemilihan umum.[8]
Dari berbagai pendekatan dan sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Namun intinya pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu tidak lain merupakan instisari dari pada demokrasi.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum pada bagian pertimbangan, menimbang bahwa untuk memilih anggota dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang aspiratif, berkulitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Selanjutnya pada bagian pertimbangan yang lain, dibentuk UU ini (bagian b) bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannnya suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur.
Demikian juga dalam Bab I ketentuan umum ditegaskan bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pernyataan umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 21 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas.
Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini berkaitan dengan tidak dipisahkan dengan hak berikutnya dalam ayat 2 yaitu: bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh akses yang sama pada pelayanan oleh pemerintahan dalam negerinya.Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut dalam ayat 3 ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu Negara yaitu: “kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas.”
Pernyataan umum Hak Asasi Manusia PBB Pasal 21 tersebut di atas, terutama Pasal 3 merupakan penegasan asas demokrasi yaitu bahwa kedaulatan rakyat harus menjadi dasar bagi kewenangan pemerintahan dan kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Pemilu kini telah menjadi token of membership bagi sebuah Negara jika ingin bergabung dalam sebuah masa peradaban yang bernama demokrasi. Dalam konteks ini pemilu adalah salah satu ornament paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris bagi penyelenggaraan Negara. Pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partsipasi politik di sebuah Negara.Pemilu menjadi arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat untuk dipilih.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat, sehingga Pilprespun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004.Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Meskipun di tengah masyarakat kadang istilah Pemilu lebih banyak merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Penting juga untuk menjadi catatan dalam membahas masalah pemilu, yakni prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara luber dan jurdil, yang mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.
Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Umum berarti pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia yang berumur 17 tahun atau telah pernah kawin berhak ikut memiilih dalam pemilihan umum. Sedangkan warga Negara yang berumur 21 tahun berhak untuk dipilih.
Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku secara holistik bagi semua warga Negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasarkan misalnya acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.[9]
Bebas berarti setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun.Di dalam melaksanakannya setiap waga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan.Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggara, pelaksana, pemerintah, partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang brelaku. Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecuarangan dari pihak manapun.
Akhirnya dari semua penjelasan tentang pemilihan umum di atas, membincangkan ranah pemilu sebagai perwujudan Negara demokrasi dan Negara hukum adalah perbincangan yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Pemilihan umum seringkali disangkutpautkan dengan pesta demokrasi, ketika semua rakyat dari berbagai lapisan dan struktrur sosial berbondong-bondong baik secara personal maupun komunal (Partai) turut serta dalam menentukan pemimpin atau wakil rakyat untuk memimpin roda pemerintahan secara arif dan bijaksana.
Dalam mekanisme pemilu tersebut mulai dari pendaftaran pemilu, penentuan DCS, DCT, penyusunan DPS, penyelenggaraan kampanye, sampai pada perhitungan hasil pemungutan suara tidak sedikit memunculkan sengkarut dalam masalah penegakan hukum pidana pemilu. Oleh sebab itu Undang-undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD tidak hanya mengatur masalah pengadministrasian data pemilih, data hasil perhitungan suara, data peserta pemilu. Melainkan juga berada dalam ruang lingkup hukum pidana.
Sejauh ini dalam KUHP juga sudah diatur masalah atau ketentuan tindak pidana pemilu. Namun lex specialis memberi tindak pidana khusus dalam hukum pidana pemilu melaluiUndang-undang Pemilu, yang sengaja diintegrasikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dengan tujuan menjalankan prinsip demokrasi dan pemilu yang transparan, jujur, adil, proprsional. Tentunya dengan mekanisme Hukum Acara Pidana yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang Pemilu. Seperti pelaporan tindak pidana pemilu kepada Panwaslu atau Bawaslu hanya dalam jangka waktu 7 hari, dalam Undang-undang tersebut ditambah waktunya dibandingkan undang-undang sebelumnya, yang hanya dalam jangka waktu tiga hari diberikan kepada pelapor untuk melaporkan tindak pidana pemilu jika diketahui adanya pelanggaraan maupun kejahatan dalam penyelenggaraan pemilu.
Permasalahan lain yang menjadi rumit dalam penegakan hukum pidana pemilu adalah bukan hanya mengatur masalah pelanggaran yang terjadi pada masa kampanye. Melainkan mulai semua dari tahapan penyelenggaraan pemilu. Oleh karena pemilu hanya dapat dikatakan sukses jika melewati dua tahap yaitu tahap proses dan tahap hasil. Menurut Guy S. Goodwin Gill[10] ada sepuluh rangkaian dalam proses pemilu yang rentang mendatangkan masalah diantaranya:
1. Sistem dan undang-undang pemilu.
2. Pembatasan konstituen.
3. Pengelolaan pemilu
4. Hak pilih.
5. Pendaftaran pemilih.
6. Pendidikan kewarganegaraan dan informasi kepada pemilih.
7. Calon, partai, dan organisisi politik, termasuk pedanaan.
8. Kampanye pemilu termasuk perlindungan dan penghormatan HAM, pertemuan politik dan akses serta liputan media.
9. Pencoblosan, pemantauan dan hasil pemilu
10. Penanganan pengaduan dan penyelesian sengketa.
Jika diringkas ke sepuluh tahap tersebut maka hanya terbagi tiga yaitu prahari pemilu, hari “H” pemilu itu sendiri dan pasca pemilu.Pada bagian atau ketiga tahapan ini penegakan hukum pidana jika dicermati dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah mengatur beberapa model tindak pidana pemilu yang diatur di dalamnya.
Berbeda halnya dengan Office for Democratic Institutions and Human Right[11]dalam mewujudkan pemilu yang demokratis persolan yang terbesar dihadapi selain masalah peraturan pemilu atau UU Pemilu yang disebut electoral law juga sangat dipengaruhi oleh wilayah electoral proses yang meliputi Sembilan komponen yaitu pengaturan daerah pemilihan (districting), administrasi pemilu (election administration), hak pilih dan pendaftaran pemilih (suffrage right and voter registration), pendidikan kewarganegaraan dan informasi pemilih (civis education and voter informative), kandidat, partai politik dan pendanaan kampanye (candidates, political parties and campaign spending), akses media dan perlindungan kebebasan berbicara dan berekspresi di dalam kampanye (media accses and protection of speech and expression in electoral campaign) pemungutan suara (balloting), pemantauan pemilu (election observation) dan penyelesaian sengketa pemilu (resolution of election dispute)
Masih berkaitan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu, bukan hanya bagian kompetensi Pidana saja, melainkan juga terdapat pelanggaraan administrasi yang diproses oleh KPU dan Bawaslu/ Panwaslu, pelanggaran Pidana yang melalui tahapan hukum acara pemeriksaan KUHAP, dan masalah hukum yang diselesaikan oleh MK terkait masalah hasil perhitungan suara oleh KPU.
Oleh karena itu ke depannya dengan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012, sebagai pedoman untuk persiapan pemilu 9 April 2014 mendatang. Perlu diidentifikasi tindak pidana pemilu apa saja yang ada dalam Undang-undang tersebut dan formulasi kebijakan apa yang perlu diterapkan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu di masa mendatang, proses penyelesaian tindak pidananya yang masih lemah, sehinggga penegakan hukum pidana pemilu dirasa belum berjalan efektif.
[1] Menurut konvensi Montevideo (sebuah kota di Uruguay) tahun 1933, merupakan konvensi hukum internasional, dimana Negara mempunyai empat unsur konstitutif meliputi:
- Harus ada penghuni (rakyat, penduduk, warga Negara)
- Harus ada wilayah tertentu atau lingkungan kekuasaan
- Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat) pemerintah yang berdaulat.
- Kesanggupan berhubungan dengan Negara-negara lainnya.
- Pengakuan (deklaratif)
Lihat dalam Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Bandung, Armico, Hlm. 34.
[2] F. Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta, Kanisius, Hlm. 129.
[3]Majalah Prisma, Vol 28 Juni 2009, Hlm. 23.
[4] Francis Fukuyama, 2001, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta, Qalam, Hlm. 79
[5]Abdul Aziz Hakim, 2011.Negara Hukum dan Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 177
[6] Benyamin Ginsberg, 1982, The Consequences of consent: Elections, Citizen control and Popular Acquisecence, Mass:Addison-Wesley Publishing. Hlm. 123
[7] Antonio Gramsci, 1978, Selection from the Prison Notebook, Translation by Q Hoare and N Smith, New York, International Publisher, Hlm. 56.
[8] Muhaimin, 2012, Golput dalam Optik Santri, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 23
[9]Berdasarkan asas umum pemilu tersebut sehingga fungsi pemilu dalam menjalankan kebijakan afirmasi (bukan semata fungsi representasi politik), maka quota perempuan merupakan syarat bagi partai politik dapat lolos dalam verifikasi adminitrasi agar dapat menjadi peserta pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2012.Kajian peran perempuan dalam politik diulas secara lengkap oleh Ani Soetjipto, 2011, Politik Harapan (Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi), Tangerang, Marjin Kiri.
[10] Burhanuddin Muhtadi, 2013, Perang Bintang 2014, Bandung, Noura Books. Hlm. 49.
[11] Jenedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm. 76
Sumber
Negara jaga malam(nachwaterstaat) yang hanya mengatur masalah ketertiban diformat dalam konsep lebih menitikberatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat.Konsep tersebut menjadi dasar pembentukan Negara-negara kesejahteraan, dari Negara maju hingga Negara berkembang.Tentu dikenal kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum sebagai bahagian perjuangan mencari pemerintahan yang ideal.
Kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum adalah dua jenis kedaulatan yang hingga akhir ini tidak pernah habis untuk diperbincangkan.Dalam mencari format yang dapat mengkombinasikan keduanya. Kedaulatan rakyat adalah cikal bakal lahirnya konsep demokrasi, sementara kedaulatan hukum cikal bakal yang melahirkan nomokrasi: nomos dan cracy(Negara hukum/ recht staat/ rule of law).Sehingga antara demokrasi dan nomokrasi tidak dapat dipisahkan sebagai salah satu teori yang mendasari legitimasi kekuasaan dapat menjalankan pemerintahan yang tidak despotis lagi.
Dalam konteks ini, demokrasi selalu dikatakan sebagai sistem yang tiada duanya atau tidak ada pilihan lain untuk menggunakannya sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik. Karena tidak ada sistem pemerintahan yang lebih layak dan baik, yang dapat digunakan selain demokrasi.
Demokrasi secara istilah berasal dari kata demos dan cratein. Demos berarti rakyat, sedangkan cratein berarti pemerintahan.Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan kepentingan rakyat.Semata-semata semua kepentingan rakyat tersublimasi melalui perwakilannya di lembaga Negara.Di ranah ini pulalah terbagi demokrasi dalam bentuk demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.Oleh pemikir atau Mazhab Frankfrut juga memunculkan demokrasi yang dikenal sebagai demokrasi deliberatif.Adalah demokrasi yang menjunjung partisipasi rakyat tanpa memutus peran rakyat dalam setiap penyusunan kebijakan pemerintahan. Hinngga antara pemerintah dan rakyat terbangundalam komunikasi yang partisipatoris.
Menurut Fransisco Budi Hardiman[2] mendefeniskan demokrasi deliberatif berarti bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan sebuah kehendak umum yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimasi itu adalah proses formasi deliberatif, argumentatif diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk revisi.
Apayang diungkap oleh Budi Hardiman, legitimitas sebuah aturan adalah membutuhkan uji kelayakan publik, agar tidak memicu keguncangan terhadap partsipan hukum. Ketika aturan itu diterapkan.Oleh sebab itu Yudi Latif[3] menegaskan bahwa demokrasi deliberatif dalam menjalankan keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi empat syarat.Pertama, harus didasarkan pada fakta, bukan hanya berdasarkansubjektivitas ideologis.Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan pada demi kepentingan jangka pendek politik dagang sapi yang bersifat kompromistis. Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif. Dalam model itu,legitimasi demokrasi tidak ditentukan oleh seberapa banyak dukungan atas suatu keputusan, melainkan seberapa luas dan dalam melibatkan proses deliberasi.
Jika diperhatikan baik, demokrasi deliberatif lebih banyak menyoroti pada pengambilan keputusan, atau pada penciptaan Undang-undang yang akan mengatur semua kebijakan baik yang menentukan tugas dan kewenangan semua lembaga Negara maupun regulasi yang dibentuk untuk tujuan hukum materil (seperti hukum pidana dan perdata) ataukah peraturan yang sifatnya umum abstrak, dikenal sebagai regeling dalam klasifikasi aturan berdasarkan Ilmu Hukum Administrasi Negara.
Berbeda dengan demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung lebih erat membahas materi pengisian jabatan dalam lembaga Negara. Apakah secara langsung atau secara tidak langsung ?menjadi wakil atau penyalur aspirasi rakyat. Pada posisi yang demikian demokrasi menjadi teori yang sangat penting untuk menggerakan cara atau alat melalui pemilu dapat mewujudkan demokrasi yang seutuhnya tercipta berdasarkan keputusan dan kemauan rakyat.
Tidak ada cara atau sarana lain yang dapat digunakan selain pemilu yang dapat mengejawantahkan teori perjanjian rakyat kalau bukan melalui pemilu. Dan semua Negara yang mengakui dan menganut demokrasi di dunia melaksanakan pemilu agar dapat mewujudkan demokrasi. Hal tersebut menyebabkan tesis Fukuyama[4] tidak ada yang dapat membantahnya kalau demokrasi liberal sebagai puncak kemenangan yang ahirnya dianut oleh Negara berkembang, bahkan Negara Islampun diakui oleh Fukuyama pada akhirnya juga akan menganut demokrasi.
Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai anak kandung demokrasi yang dijalankan untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat dalam fenomena ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Melalui pemilu pula dapat terwujud dua konsep demokrasi dan Negara hukum yang telah diamanatkan dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 2 “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang.Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 ditegaskan “Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.”
Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government).Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif.
Menurut Robert Dahl[5], bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis.
Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.
Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut.Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat.
Pemilihan umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pemilu sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku.Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya.Dengan begitu, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg[6], fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat sporadik dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa.Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat.Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya (Edelman, 171, Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966). Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya.
Gramsci[7] bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi.Terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrasi itu sendiri.
Pemilihan akan sistem pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi, kebanyakan dari sistem pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena dipilih, melainkan karena kondisi yang ada di dalam masyarakat serta sejarah yang mempengaruhinya. Untuk menguraikan substansi dalam pemilu, selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan lebih lanjut pendefenisian pemilihan umum.[8]
Dari berbagai pendekatan dan sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Namun intinya pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu tidak lain merupakan instisari dari pada demokrasi.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum pada bagian pertimbangan, menimbang bahwa untuk memilih anggota dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang aspiratif, berkulitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Selanjutnya pada bagian pertimbangan yang lain, dibentuk UU ini (bagian b) bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannnya suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur.
Demikian juga dalam Bab I ketentuan umum ditegaskan bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pernyataan umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 21 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas.
Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini berkaitan dengan tidak dipisahkan dengan hak berikutnya dalam ayat 2 yaitu: bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh akses yang sama pada pelayanan oleh pemerintahan dalam negerinya.Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut dalam ayat 3 ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu Negara yaitu: “kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas.”
Pernyataan umum Hak Asasi Manusia PBB Pasal 21 tersebut di atas, terutama Pasal 3 merupakan penegasan asas demokrasi yaitu bahwa kedaulatan rakyat harus menjadi dasar bagi kewenangan pemerintahan dan kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Pemilu kini telah menjadi token of membership bagi sebuah Negara jika ingin bergabung dalam sebuah masa peradaban yang bernama demokrasi. Dalam konteks ini pemilu adalah salah satu ornament paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris bagi penyelenggaraan Negara. Pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partsipasi politik di sebuah Negara.Pemilu menjadi arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat untuk dipilih.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat, sehingga Pilprespun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004.Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Meskipun di tengah masyarakat kadang istilah Pemilu lebih banyak merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Penting juga untuk menjadi catatan dalam membahas masalah pemilu, yakni prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara luber dan jurdil, yang mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.
Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Umum berarti pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia yang berumur 17 tahun atau telah pernah kawin berhak ikut memiilih dalam pemilihan umum. Sedangkan warga Negara yang berumur 21 tahun berhak untuk dipilih.
Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku secara holistik bagi semua warga Negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasarkan misalnya acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.[9]
Bebas berarti setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun.Di dalam melaksanakannya setiap waga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan.Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggara, pelaksana, pemerintah, partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang brelaku. Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecuarangan dari pihak manapun.
Akhirnya dari semua penjelasan tentang pemilihan umum di atas, membincangkan ranah pemilu sebagai perwujudan Negara demokrasi dan Negara hukum adalah perbincangan yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Pemilihan umum seringkali disangkutpautkan dengan pesta demokrasi, ketika semua rakyat dari berbagai lapisan dan struktrur sosial berbondong-bondong baik secara personal maupun komunal (Partai) turut serta dalam menentukan pemimpin atau wakil rakyat untuk memimpin roda pemerintahan secara arif dan bijaksana.
Dalam mekanisme pemilu tersebut mulai dari pendaftaran pemilu, penentuan DCS, DCT, penyusunan DPS, penyelenggaraan kampanye, sampai pada perhitungan hasil pemungutan suara tidak sedikit memunculkan sengkarut dalam masalah penegakan hukum pidana pemilu. Oleh sebab itu Undang-undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD tidak hanya mengatur masalah pengadministrasian data pemilih, data hasil perhitungan suara, data peserta pemilu. Melainkan juga berada dalam ruang lingkup hukum pidana.
Sejauh ini dalam KUHP juga sudah diatur masalah atau ketentuan tindak pidana pemilu. Namun lex specialis memberi tindak pidana khusus dalam hukum pidana pemilu melaluiUndang-undang Pemilu, yang sengaja diintegrasikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dengan tujuan menjalankan prinsip demokrasi dan pemilu yang transparan, jujur, adil, proprsional. Tentunya dengan mekanisme Hukum Acara Pidana yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang Pemilu. Seperti pelaporan tindak pidana pemilu kepada Panwaslu atau Bawaslu hanya dalam jangka waktu 7 hari, dalam Undang-undang tersebut ditambah waktunya dibandingkan undang-undang sebelumnya, yang hanya dalam jangka waktu tiga hari diberikan kepada pelapor untuk melaporkan tindak pidana pemilu jika diketahui adanya pelanggaraan maupun kejahatan dalam penyelenggaraan pemilu.
Permasalahan lain yang menjadi rumit dalam penegakan hukum pidana pemilu adalah bukan hanya mengatur masalah pelanggaran yang terjadi pada masa kampanye. Melainkan mulai semua dari tahapan penyelenggaraan pemilu. Oleh karena pemilu hanya dapat dikatakan sukses jika melewati dua tahap yaitu tahap proses dan tahap hasil. Menurut Guy S. Goodwin Gill[10] ada sepuluh rangkaian dalam proses pemilu yang rentang mendatangkan masalah diantaranya:
1. Sistem dan undang-undang pemilu.
2. Pembatasan konstituen.
3. Pengelolaan pemilu
4. Hak pilih.
5. Pendaftaran pemilih.
6. Pendidikan kewarganegaraan dan informasi kepada pemilih.
7. Calon, partai, dan organisisi politik, termasuk pedanaan.
8. Kampanye pemilu termasuk perlindungan dan penghormatan HAM, pertemuan politik dan akses serta liputan media.
9. Pencoblosan, pemantauan dan hasil pemilu
10. Penanganan pengaduan dan penyelesian sengketa.
Jika diringkas ke sepuluh tahap tersebut maka hanya terbagi tiga yaitu prahari pemilu, hari “H” pemilu itu sendiri dan pasca pemilu.Pada bagian atau ketiga tahapan ini penegakan hukum pidana jika dicermati dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah mengatur beberapa model tindak pidana pemilu yang diatur di dalamnya.
Berbeda halnya dengan Office for Democratic Institutions and Human Right[11]dalam mewujudkan pemilu yang demokratis persolan yang terbesar dihadapi selain masalah peraturan pemilu atau UU Pemilu yang disebut electoral law juga sangat dipengaruhi oleh wilayah electoral proses yang meliputi Sembilan komponen yaitu pengaturan daerah pemilihan (districting), administrasi pemilu (election administration), hak pilih dan pendaftaran pemilih (suffrage right and voter registration), pendidikan kewarganegaraan dan informasi pemilih (civis education and voter informative), kandidat, partai politik dan pendanaan kampanye (candidates, political parties and campaign spending), akses media dan perlindungan kebebasan berbicara dan berekspresi di dalam kampanye (media accses and protection of speech and expression in electoral campaign) pemungutan suara (balloting), pemantauan pemilu (election observation) dan penyelesaian sengketa pemilu (resolution of election dispute)
Masih berkaitan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu, bukan hanya bagian kompetensi Pidana saja, melainkan juga terdapat pelanggaraan administrasi yang diproses oleh KPU dan Bawaslu/ Panwaslu, pelanggaran Pidana yang melalui tahapan hukum acara pemeriksaan KUHAP, dan masalah hukum yang diselesaikan oleh MK terkait masalah hasil perhitungan suara oleh KPU.
Oleh karena itu ke depannya dengan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012, sebagai pedoman untuk persiapan pemilu 9 April 2014 mendatang. Perlu diidentifikasi tindak pidana pemilu apa saja yang ada dalam Undang-undang tersebut dan formulasi kebijakan apa yang perlu diterapkan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu di masa mendatang, proses penyelesaian tindak pidananya yang masih lemah, sehinggga penegakan hukum pidana pemilu dirasa belum berjalan efektif.
[1] Menurut konvensi Montevideo (sebuah kota di Uruguay) tahun 1933, merupakan konvensi hukum internasional, dimana Negara mempunyai empat unsur konstitutif meliputi:
- Harus ada penghuni (rakyat, penduduk, warga Negara)
- Harus ada wilayah tertentu atau lingkungan kekuasaan
- Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat) pemerintah yang berdaulat.
- Kesanggupan berhubungan dengan Negara-negara lainnya.
- Pengakuan (deklaratif)
Lihat dalam Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Bandung, Armico, Hlm. 34.
[2] F. Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta, Kanisius, Hlm. 129.
[3]Majalah Prisma, Vol 28 Juni 2009, Hlm. 23.
[4] Francis Fukuyama, 2001, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta, Qalam, Hlm. 79
[5]Abdul Aziz Hakim, 2011.Negara Hukum dan Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 177
[6] Benyamin Ginsberg, 1982, The Consequences of consent: Elections, Citizen control and Popular Acquisecence, Mass:Addison-Wesley Publishing. Hlm. 123
[7] Antonio Gramsci, 1978, Selection from the Prison Notebook, Translation by Q Hoare and N Smith, New York, International Publisher, Hlm. 56.
[8] Muhaimin, 2012, Golput dalam Optik Santri, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 23
[9]Berdasarkan asas umum pemilu tersebut sehingga fungsi pemilu dalam menjalankan kebijakan afirmasi (bukan semata fungsi representasi politik), maka quota perempuan merupakan syarat bagi partai politik dapat lolos dalam verifikasi adminitrasi agar dapat menjadi peserta pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2012.Kajian peran perempuan dalam politik diulas secara lengkap oleh Ani Soetjipto, 2011, Politik Harapan (Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi), Tangerang, Marjin Kiri.
[10] Burhanuddin Muhtadi, 2013, Perang Bintang 2014, Bandung, Noura Books. Hlm. 49.
[11] Jenedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm. 76
Sumber
0 Response to "Esensi Pemilu"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...