Perayaan Natal yang Dirayakan Umat Islam

Terlihat dari perayaan yang dilakukan oleh umat beragama kristen contohnya hari natal ternyata perayaan ini lebih meriah di bandingkan dari perayaan islam itu sendiri dan paling sering kita dengar ialah ucapan “Selamat Natal”, bukan hanya oleh orang-orang sesama nasrani, tapi juga oleh orang Islam. Ucapan “Selamat Natal” tentu ditujukan kepada mereka yang merayakannya, yakni kaum nasrani. Para penyiar radio, presenter acara TV dengan sangat lancar dan tampaknya juga tanpa beban mengucapkan “Selamat Natal” kepada para pendengar dan para pemirsa yang beragama Kristen. Begitu juga para tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan sering kita ketahui dengan lugasnya mengucapkan “Selamat Natal” dalam acara-acara “natalan” di bulan Desember. Tidak ketinggalan mereka yang beragama Islam dan mempunyai keluarga beragama Kristen, terbiasa mengucapkan “Selamat Natal” baik dengan sms, kartu ataupun kado natal.

Persoalan muncul karena ucapan selamat itu dapat difahami sebagai berkonotasi doa dan simpati, sementara dalam ajaran Islam (terutama yang terkait aqidah), mayoritas ulama berpendapat bahwa mendoakan orang non-muslim itu Tidak Boleh, dan bersimpati pada aqidah non-tauhid (yang mempertuhan selain Allah) itu jelas Dilarang. Hal ini antara lain didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 113 yang maknanya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahannam”.

Dalam kaitan ini juga ada hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang maknanya: “Janganlah kamu memulai salam (ucapan selamat) kepada orang Yahudi dan Nasrani…”. Demikian pula banyak sekali ayat yang mengecam kedekatan (berlebihan) antara orang Islam dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 51 yang maknanya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman akrabmu. Sebagian mereka adalah teman akrab bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai teman akrab, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim”.

Ayat dan hadis di atas tidak sepenuhnya dapat dijadikan dasar PELARANGAN ucapan “Selamat Natal” dari kaum muslimin kepada kaum nasrani yang merayakan Hari Natal, sebab:

1. Yang dilarang dalam surat at-Taubah ayat 113 hanyalah memintakan ampun bagi non-muslim (orang-orang musyrik), bukan mutlak atau mencakup semua doa. Nabi pernah mendoakan orang-orang kafir Thaif yang melempari batu beliau dengan ungkapan: “Yaa Allah berilah petunjuk kepada kaumku ini. Mereka (berbuat demikian itu)  karena tidak tahu”.

2. Surat al-Ma-idah ayat 51 dan hadis riwayat Muslim di atas harus lebih difahami secara kontekstual, mengingat adanya suasana permusuhan antara umat Islam dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani saat itu, maka mengambil teman akrab atau memulai salam kepada mereka jelas merupakan tindakan yang bertentangan dengan ruh jihad dan semangat ukhuwwah Islamiyyah yang mestinya lebih diprioritaskan.

Berpijak dari pemahaman di atas, maka menurut saya umat Islam boleh mengucapkan “Selamat Natal” dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Harus memiliki aqidah tauhid yang kuat dan menata niat yang benar, bahwa ucapan “Selamat Natal” itu dilakukan semata-mata dalam konteks sosial kemanusiaan dan pergaulan kemasyarakatan, bukan keagamaan.

2. Sebaiknya ucapan “Selamat Natal” ditujukan dan diniatkan untuk mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Isa AS yang dalam Islam termasuk salah seorang dari 5 rasul terkemuka, Ulul ‘Azmi minar Rusul.

3. Sebaiknya dalam ucapan “Selamat Natal” disertai doa “Semoga Allah (Tuhan) memberi petunjuk kepada kita ke jalan yang benar dan lurus”.

Adapun menghadiri misa natal bagi muslim, maka hukumnya haram, karena sudah termasuk bagian ritual ajaran nasrani yang apapun alasannya umat Islam tidak boleh terkontaminasi dengan ajaran apapun selain Islam.

Sedang menghadiri perayaaan natal yang lebih berdimensi sosial, para ulama berbeda pendapat. Para ulama yang tergabung dalam MUI (Majelis Ulama Indonesia) umumnya berpandangan bahwa menghadiri perayaan natal hukumnya haram jika disertai keyakinan bahwa agama mereka juga benar, dan makruh manakala tidak ada keyakinan tersebut tetapi dikhawatirkan akan mempengaruhi kekokohan aqidah orang yang menghadiri perayaan natal tersebut. Sedang menurut para cendekiawan muslim yang “tergabung” dalam Fiqih Lintas Agama dapat difahami bahwa menghadiri perayaan natal diperbolehkan karena sudah amat banyak tokoh muslim dan para pejabat tinggi negara yang beragama Islam menghadiri perayaan natal, ternyata tidak terganggu apapun tentang aqidah mereka. Jadi menghadiri perayaan natal kalau sebatas demi terjalinnya komunikasi antar sesama manusia Tidak Dilarang.

Sepanjang orang yang menghadiri perayaan natal itu adalah mereka yang aqidah Islamnya sudah kuat, maka Tidak Dilarang. Apalagi jika disertai niat menunjukkan sikap simpatik kaum muslimin untuk tetap berkomunikasi dengan baik antara sesama manusia beda agama yang tetap dengan teguh memegang prinsip “Lakum diinukum waliya diin”, maka tentu merupakan kebaikan yang bernilai dakwah. Hal ini didasarkan pada keumuman makna firman Allah SWT dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terrhadap orang-orang  yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimua. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Masalah ini mirip dengan umat Islam yang melaksanakan shalat Idul Fithriy yang berdimensi ritual itu, maka apapun alasannya tidak diperbolehkan untuk mengizinkan, apalagi mengundang orang-orang non-muslim untuk ikut shalat Id. Tetapi dalam acara halal bihalal yang sudah berdimensi sosial, panitia penyelenggara boleh saja mengundang orang-orang non-muslim untuk menghadirinya. Jadi misa natal itu kira-kira mirip dengan shalat Id yang masing-masing agama harus mandiri dan tidak boleh melibatkan orang yang berbeda agama. Sedangkan perayaan natal itu kira-kira serupa dengan halal bihalal yang dapat dihadiri oleh mereka yang berbeda agama.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, bagi muslim yang mau menghadiri perayaan natal:

1. Harus menata niat, bahwa kehadirannya semata-mata dalam konteks sosial kemanusiaan dan kemasyarakatan, bukan keagamaan.

2. Jangan mengajak anak-anak atau anggota keluarga yang belum kokoh iman Islamnya.

3. Harus berhati-hati dengan hidangan yang kemungkinan ada unsur babinya. Sedang makanan yang jelas non-babi boleh dan halal dimakan oleh orang Islam.

4. Tidak melibatkan diri dalam rangkaian acara, kecuali sebatas memberi sambutan jika diperlukan.

5. Perayaan tidak diadakan di dalam gereja, karena secara psikologis akan berefek beda dengan jika diadakan di tempat terbuka/umum.

Jadi kesimpulannya adalah bahwa umat Islam harus bisa menjalin hubungan baik dengan non-muslim sepanjang tidak berefek mengganggu aqidah Islamiyah. Jalinan hubungan itu dapat berupa ucapan natal, menghadiri perayaan natal  dan BUKAN MISA NATAL, sekali lagi dengan tetap menghindari hal-hal yang “berbahaya” bagi keselamatan aqidah.

Demikian artikel kali ini jangan lewatkan untuk membaca artikel sebelumnya dengan judul alat-alat kontrasepsi dan hukumnya

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perayaan Natal yang Dirayakan Umat Islam"

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...