Kenangan Selama Dalam Pelarian

Hidup di Tengah Kekurangan
KALAU boleh memilih, tentu tidak ada orang yang ingin hidup serba
kekurangan. Akan tetapi, terkadang nasib menyeret manusia ke lembah
kemiskinan dan kebodohan sehingga tidak bisa keluar dari jaring-jaring maya
dalam lingkaran setan yang menyengsarakan. Hal itulah yang dialami keluarga
Yunda (nama samaran). Kemiskinan telah membuat keluarganya tercerai-berai.
Ia pun sempat terlunta-lunta dan hidup di jalanan. Bagaimana kisahnya? Yunda
menuturkan pengalamannya tersebut kepada Ela Hayati.

AKU adalah anak sulung dari empat bersaudara di daerah pinggiran Kota
Bandung. Keluarga kami bukanlah orang mampu. Bahkan boleh dibilang kami
masuk golongan keluarga miskin. Sejak kecil, sejauh yang aku ingat, ayah
bundaku hidup menumpang di rumah nenek dari pihak ibu, yang kecil dan
sempit di ujung gang sebuah perkampungan yang kumuh.

Kami bertujuh hidup berdesak-desakan di rumah berdinding bilik yang sangat
tidak layak. Tak ada kamar di dalamnya; ruang tamu, dapur, dan ruang tidur
kami semua menyatu di satu ruangan. Jangan tanya mengenai masalah privasi,
karena kami sama sekali tidak mengenal itu. Dan kalau kuingat lagi sekarang,
entah bagaimana dalam kondisi seperti itu, orangtua kami bisa punya anak
hingga empat orang.

Sebagai anak perempuan dan yang paling besar, aku selalu kebagian menjaga
adik-adik yang semuanya lelaki. Sementara ayah dan ibu pergi bekerja, akulah
yang tampil ke depan mengurus mereka. Aku telah memikul tanggung jawab itu
sejak berusia lima tahun.

Seperti Ayah dan Ibu, nenekku yang sudah mulai uzur juga harus tetap
membanting tulang mencari nafkah. Setiap hari ia pergi ke pasar untuk
berjualan sayuran titipan dari tetangga pemilik kebun.

Keluarga kami sempat mencapai taraf yang untuk ukuran kami mungkin
bolehlah disebut sejahtera, yaitu ketika ayah dan ibu bekerja sebagai buruh di
pabrik. Namun itu tak lama, karena ketika badai ekonomi melanda negeri ini,
keduanya menganggur sebagai korban pemutusan hubungan kerja. Ayah
mencoba beralih profesi dengan menjadi tukang becak, namun penghasilannya
per hari sangatlah minim. Sementara ibu menjadi buruh tani dan berdagang
gorengan keliling kampung.

Untuk memperbaiki kehidupan, suatu hari Ayah mencoba mengadu nasib ke
Jakarta. Katanya ada teman yang menawarinya menjadi buruh bangunan
dengan upah yang lumayan. Ia pun meninggalkan kami dengan tekad untuk
menaklukkan Ibu Kota.

Selama dua-tiga bulan, Ayah rajin mengirim hasil jerih payahnya di Jakarta
kepada Ibu. Sehingga, kehidupan kami pun beranjak membaik. Namun bulanbulan
berikutnya, kiriman mulai tersendat. Bahkan, terkadang Ayah baru
mengirim uang setelah lewat empat bulan. Itu pun jumlahnya tidak seberapa.
Hal itu tentu saja membuat Ibu sering uring-uringan. Apalagi hasil usahanya
sebagai buruh tani dan berjualan juga semakin hari semakin tidak dapat
diandalkan.

Setelah setahun lebih ditinggalkan Ayah yang jarang pulang dari Jakarta, Ibu
pun memutuskan menerima tawaran temannya untuk bekerja di pabrik tekstil
di luar kota. Ia sebenarnya merasa berat harus meninggalkan kami yang masih
kecil. Namun apa hendak dikata, kalau tetap tinggal diam, justru anak-anaknya
tak akan bisa makan. Maka, ia pun menetapkan hati untuk berangkat. Sebelum
pergi, ia menitipkan kami pada nenek. Ia berjanji akan pulang rutin setidaknya
sebulan sekali. Lalu, dengan hati menangis, Ia pun pergi meninggalkan kami
yang baru berumur empat belas, dua belas, sepuluh, dan tujuh tahun.

Walaupun masih kecil, kami tidak tinggal diam. Aku yang tidak melanjutkan
sekolah setelah lulus SD, mencoba menggantikan Ibu berjualan gorengan setiap
pagi dan petang. Bukan aku yang membuat gorengan itu, melainkan tetangga.
Aku hanya ikut menjualkan dengan mendapat upah dari jumlah dagangan yang
terjual.

Hasil yang kudapat tidak seberapa, tapi cukuplah untuk menambah biaya
dapur. Semua upah itu selalu kuberikan kepada Nenek, sedikit pun tidak
kuambil. Bahkan aku pun tidak berani mengambilnya untuk sekadar uang jajan.
Bisa membantu Nenek dan tidak merepotkan beliau pun aku sudah cukup
senang. Apalagi uang kiriman dari Ayah memang sangat kecil dan jarang kami
dapat. Sedangkan Ibu sama sekali belum ada kabarnya.

Nenek memang bukan tipe orang yang memanjakan cucunya. Kehidupan yang
menempatkannya tak jauh dari zona kemiskinan selama ini, membuatnya tak
memiliki kemampuan melimpahi cucu-cucunya dengan kasih sayang. Yang
diketahuinya adalah ia harus berpacu dengan waktu mencari rezeki untuk isi
perut hari itu. Kami harus ikut memberikan sumbangan tenaga kalau mau tetap
tinggal bersamanya. Adik-adikku yang masih sekolah pun mempunyai tugas
untuk membereskan rumah sebelum sekolah. Sementara aku, selain ikut
mencari uang, juga kebagian mencuci pakaian.

Namun, kehidupan kami yang "tenang" itu akhirnya berantakan oleh suatu
kejadian. Pada suatu hari, Nenek tampak kalang kabut mencari sesuatu dari
lemari bututnya. Semua pakaiannya yang sudah usang dibongkar dan
dikeluarkan dari lemari itu. Namun rupanya apa yang dicarinya tidak kunjung
ketemu.

Akhirnya beliau mengumpulkan kami berempat. Beliau menanyai kami apakah
melihat kalung emasnya. Aku tahu nenek memang mempunyai seuntai kalung
emas sekitar sepuluh gram yang hanya dipakainya saat menghadiri acara-acara
yang istimewa. Konon kalung itu satu-satunya warisan yang tersisa dari
mendiang kakek dan yang paling dibanggakannya.

Karena merasa tak pernah melihatnya, kami semua menggelengkan kepala.
Seingatku Nenek terakhir kali memakai kalung itu saat menghadiri acara
pernikahan seorang tetangga. Namun setelah itu, tak pernah kulihat lagi beliau
mengenakannya. Kami pun tak pernah tahu di mana beliau menyimpannya.
Minggat Setelah Dituduh Mencuri.

KONDISI ekonomi membuat ayah dan ibu Yunda harus meninggalkan empat anak
mereka untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Walaupun berat, namun
semua harus dilakukan. Yunda yang merupakan anak sulung, tampil ke depan
menggantikan peran ayah dan ibunya dalam menjaga tiga adiknya. Namun
"ketenangan" hidup mereka kemudian terusik karena pada suatu hari kalung
sang nenek hilang. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang
dituturkan Yunda pada Ela Hayati.

NENEK kemudian mengarahkan penyelidikannya kepadaku karena aku yang
bertanggung jawab mencuci pakaian. Ia memintaku mengingat-ingat,
barangkali aku pernah melihat perhiasan itu terselip di antara baju-baju kotor.
Namun karena merasa tidak pernah melihatnya, aku menyatakan tidak tahu
dan tidak pernah melihat perhiasan itu.

Nenek tampaknya tidak puas dengan jawabanku. Kalau semula ia memintaku
mengingat barangkali pernah melihat, ia kemudian menuduhku mencuri dan
menyembunyikan perhiasan kesayangannya itu. Ia pun menginterogasiku habishabisan.
Aku tentu saja membantah tuduhan Nenek habis-habisan. Walaupun
hidup serba kekurangan, namun aku tak pernah berhasrat mengambil barang
yang bukan hakku. Apalagi kalau barang itu adalah milik Nenek, orang yang
sangat kuhormati.

Sampai berlinang air mata aku mencoba membela diri, namun tampaknya itu
tak ada pengaruhnya di mata Nenek yang tengah dilamun amarah dan
prasangka buruk. Entah didorong setan mana, beliau pun tega menampar dan
memukuli aku agar mengakui perbuatan yang sama sekali tidak pernah
kulakukan.

Aku memang harus mengakui, di antara kami berempat, akulah yang mendapat
wewenang untuk "menjamah" pakaian nenek yang perlu dicuci. Hal itu
membuatku sering lebih dekat ke lemari nenek dan sekitarnya untuk mencari
pakaian kotor. Namun sekali lagi, aku tidak pernah mencuri kalung Nenek. Hal
itu sungguh di luar jangkauan keberanianku.

Karena sudah tak kuat menahan caci maki dan sumpah serapah Nenek, aku
memutuskan kabur dari rumah. Bagiku rumah itu bukanlah tempat yang
nyaman lagi bagiku untuk berlindung. Sementara adik-adikku, biarlah mereka
kuserahkan pada Nenek karena aku sudah tak punya tempat lagi di rumah itu.
Aku hanya bisa berdoa pada Tuhan semoga mereka baik-baik saja.
Pagi hari saat Nenek pergi ke pasar dan adik-adik sekolah, aku menyelinap
meninggalkan rumah. Sambil berlinang air mata, aku menguatkan hati
melangkahkan kaki ke arah jalan raya. Andai saja Ayah dan Ibu ada di sisiku,
tentu hal ini tak akan terjadi. Ingin sekali rasanya aku mengadu dan menangis
di pangkuan mereka, namun entah di mana mereka kini.

Tujuanku kini adalah menemukan tempat Ayah bekerja di Jakarta. Aku pernah
mendengar dari tetangga yang bekerja bersamanya, katanya Ayah bekerja di
daerah sekitar Ciputat. Aku sama sekali tidak memiliki alamat pasti, namun
karena tak tahu lagi hendak ke mana, aku akan mencoba mencarinya ke sana.
Kalau perlu dengan berjalan kaki, karena aku pun sama sekali tidak punya
ongkos.

Menjelang tengah hari aku sudah jauh meninggalkan rumah. Tujuanku sekarang
adalah terminal. Meskipun aku tak punya uang, namun aku menetapkan tujuan
pergi ke sana. Lagi pula semua orang yang hendak berangkat ke Jakarta pasti
menuju terminal itu. Aku sendiri sebenarnya bingung dan waswas bagaimana
bisa bepergian tanpa ada uang di saku, tapi untuk balik lagi aku malu. Lagi pula
tak ada lagi yang kuharapkan di rumah.

Saat itulah, ada sebuah kendaraan yang tiba-tiba berhenti di sampingku. Dari
jendelanya melongok seorang pria yang langsung berseru padaku. "Neng, mau
ke mana?" katanya.

Sejenak aku tertegun dan tak bisa bicara. Namun orang itu kemudian turun dan
menghampiriku sambil melontarkan pertanyaan yang sama. "Ke..ke..Jakarta,"
akhirnya aku bisa menjawab dengan suara pelan.

"Kebetulan kami juga mau ke Jakarta. Mau Ikut?" ujarnya. Sejenak aku ragu.
Ada perasaan takut merayap di hatiku. Namun kalau dipikir lagi, mungkin inilah
kesempatanku untuk pergi ke Jakarta menemui Ayah. Dan, aku tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

Akhirnya aku mengangguk menyambut ajakan itu. Aku pun naik dan duduk di
kursi belakang mobil sedan itu. Di dalamnya ada seorang pria lain yang duduk
di belakang kemudi, usianya mungkin sebaya dengan ayahku. Ia hanya
menyeringai melihatku. Lalu, mobil pun kembali melaju.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam membisu. Aku baru bersuara kalau kedua
orang pria itu menanyaiku. Selebihnya aku hanya bungkam. Kedua pria itu
memperkenalkan dirinya. Orang yang sebelumnya turun dari mobil dan
mengajakku mengaku bernama Ado (nama samaran), sedangkan yang
memegang kemudi bernama Bram (nama samaran).

Menjelang malam, mobil itu berhenti di sebuah rumah makan. Katanya kedua
awak kendaraan itu hendak istirahat dulu dan makan. Aku menurut saja ketika
mereka mengajakku. Aku baru sadar kalau perutku pun keroncongan, sehingga
tentu saja aku sangat senang ketika orang itu mentraktirku. Kalau tak ada
mereka, entah apa yang akan kulakukan. Mereka memberiku tumpangan dan
makan, aku sungguh sangat beruntung.

Sehabis makan, kami tidak langsung berangkat lagi dan hanya ngobrol saja
sambil duduk lesehan. Aku minta izin untuk kembali ke mobil. Karena sudah
lelah dan mengantuk, apalagi ditambah perut yang sudah kenyang, aku pun
tertidur. Namun tak lama aku tidur karena beberapa saat kemudian, aku
terbangun saat kedua orang pria itu masuk ke mobil dan melanjutkan
perjalanan.

Saat itulah, Ado menawariku minuman dalam botol air mineral. Semula aku
menolak, namun karena Ado terus menawariku, aku merasa tidak enak kalau
menolak. Sehingga, akhirnya aku menerimanya dan tanpa ada prasangka apa
pun aku langsung meneguknya.

Terdampar di Jalanan
KECEWA karena dituduh mencuri oleh neneknya, Yunda pun memutuskan untuk
minggat. Walaupun sebenarnya ia merasa berat hati karena harus meninggalkan
adik-adiknya, namun ia merasa tidak memiliki tempat lagi untuk tinggal di
rumah sang nenek. Yunda pun memutuskan untuk mencari ayahnya ke Jakarta.
Di tengah perjalanan, ada pengenda mobil yang menawarinya ikut. Kebetulan
mereka pun hendak pergi ke Jakarta. Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya
seperti yang dituturkan Yunda kepada Ela Hayati.

SAAT itu aku tak tahu jenis minuman itu, namun rasanya sungguh tidak enak,
baunya pun menusuk dan agak pahit. Setelah meneguknya sekali, aku langsung
menyerahkannya kembali pada Ado. Beberapa saat kemudian aku merasa
pusing luar biasa. Tanpa bisa kucegah aku pun tak sadarkan diri di jok
belakang.

Ketika sadar setelah beberapa lama pingsan, aku terkejut karena aku sudah
tidak lagi berada di dalam mobil. Aku berada di sebuah saung di tengah sawah.
Aku sangat takut karena keadaan sangat gelap dan aku sama sekali tidak tahu
di mana berada. Aku juga terkejut karena pakaianku acak-acakan, bahkan
mungkin setengah telanjang. Seluruh tubuhku rasanya sakit dan ngilu. Aku juga
merasakan sakit dan perih di sekitar pangkal pahaku.

Setelah agak sedikit tenang dan semua kesadaran terkumpul, aku merangkaikan
kejadian yang menimpaku. Walaupun baru menginjak usia remaja dan masih
lugu, aku dapat mengira-ngira apa yang terjadi. Kedua lelaki yang pura-pura
baik memberiku tumpangan itulah pasti pelakunya. Mereka memberiku
minuman yang membuatku pingsan dan membuangku begitu saja di tempat
yang menyeramkan ini.

Kesadaran itu membuatku merasa sedih dan sakit hati, sehingga aku pun
menangis sesenggukan. Beberapa kali aku meratap memanggil nama Ayah dan
Ibu. Sungguh nelangsa rasanya hidup sebatang kara sepertiku. Tak kukira aku
akan mengalami kejadian yang mengerikan seperti ini.

Setelah puas menangis dan merapikan pakaian, aku menguatkan hati
meninggalkan gubuk di tengah sawah itu. Beberapa kali aku terperosok dan
jatuh ke sawah yang berlumpur sehingga pakaianku kotor. Namun aku tidak
peduli. Aku harus segera pergi dari tempat itu. Satu-satunya arah yang jadi
pedomanku adalah kilauan lampu kendaraan beberapa ratus meter dariku. Aku
bisa memastikan itu adalah jalan raya.

Walaupun rasa lelah mendera tubuh, aku berusaha tetap melangkah. Aku harus
segera menemukan tempat yang aman untuk bermalam.
Akhirnya aku sampai di tepi jalan raya. Kedua kakiku menyusuri jalan itu tanpa
tahu arah mana yang seharusnya kuambil. Aku hanya berjalan memperturutkan
kata hati.

Langkahku akhirnya membawa ke alun-alun kota. Di sini aku menghentikan
langkah. Saking capainya, aku kemudian tertidur sangat nyenyak. Tak
kupedulikan pakaian yang kotor tak karuan. Yang kuinginkan saat itu hanya
tidur, mengistirahatkan tubuh dan jiwaku yang didera kelelahan hebat.
Entah berapa lama aku dibuai mimpi. Yang pasti, aku baru terjaga setelah
dibangunkan beberapa anak jalanan. Mereka menyuruhku sembunyi di dalam
dus. Sesaat aku bingung. Namun kemudian seorang dari mereka memberitahuku
bahwa aku harus sembunyi dari para preman yang mungkin mengincarku. Oh,
aku sungguh berterima kasih atas pertolongan yang mereka berikan padaku.
Tak kusangka anak-anak jalanan itu memiliki jiwa penolong dan mau
membantuku dari musibah lain yang mungkin bisa menghancurkanku.
Sejak saat itu, aku pun berteman dengan anak-anak jalanan di daerah Depok.
Aku menjadi bagian dari komunitas mereka, menjadi gembel jalanan. Menjadi
pedagang asongan di tiap perempatan jalan. Bagiku, anak-anak itu untuk
sementara adalah pelindungku. Aku merasa aman bersama mereka di tengah
ingar-bingar dan ketidakpedulian kota yang congkak. Bagiku, mereka adalah
oase di tengah-tengah dahaga yang mencekik.

Walaupun selalu tidur beratap langit, namun persaudaraan mereka sangat kuat.
Kesetiakawanan adalah segalanya.

Terus terang, aku tidak mau pulang. Tepatnya, aku sangat takut untuk pulang.
Tak bisa kubayangkan betapa murkanya Nenek kalau aku tiba-tiba datang
dengan keadaan seperti ini. Akan semakin kuatlah dugaannya bahwa akulah
yang mencuri perhiasannya.

Tinggal di jalanan menjadi pilihanku. Bersama teman-teman anak jalanan, aku
mencoba bertahan hidup dengan berjualan koran dan permen, yang penting
cukup untuk mengisi perut yang kosong.

Hidup di jalanan tak senyaman tinggal di rumah. Di sana aku harus berjuang
keras untuk hidup. Kejahatan pun dapat dengan mudah menimpa kita bila tidak
hati-hati. Seperti yang terjadi padaku suatu malam. Tadinya aku mau berteduh
di dekat sebuah tempat hiburan malam, karena saat itu turun hujan dengan
sangat deras.

Tiba-tiba aku dicegat seorang lelaki yang menyeretku ke tempat gelap. Dia
mengancamku dengan celurit kalau aku tak mau ikut. Beruntung saat itu lewat
dua orang remaja. Melihat kejadian yang menimpaku, mereka berteriak minta
tolong.

Mendengar teriakan tersebut, orang-orang pun berdatangan. Lelaki yang
mengancamku segera melarikan diri melihat kedatangan banyak orang.
Setelah kejadian itu, aku mencoba lebih hati-hati. Aku sadar, tinggal di jalanan
harus bisa melindungi diri sendiri.

Mendapat Induk Semang Baru
KARENA percaya pada orang yang baru dikenalnya dan memberinya tumpangan,
Yunda tak menaruh rasa curiga ketika ditawari minuman. Namun ternyata hal
itu membuatnya celaka karena kemudian ia tak sadarkan diri. Ketika sadar ia
berada di tempat yang sama sekali asing dan rupanya ditinggalkan begitu saja
oleh dua orang pengendara mobil yang ditumpanginya. Dalam keadaan linglung
dan bingung, Yunda kemudian bergabung dengan anak-anak jalanan. Bagaimana
selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Yunda kepada Ela Hayati.
SUATU malam, aku bertemu dengan seorang wanita yang bekerja di tempat
hiburan malam. Saat itu ia sedang mabuk berat, bicaranya kacau dan tak
karuan. Aku menemaninya mengobrol, walaupun bicaranya kadang-kadang
tidak nyambung. Aku memanggil nama wanita itu Mbak Rina (nama samaran)
karena usianya memang lebih tua dariku.

Setelah beberapa saat berbincang, Mbak Rina mengajakku pulang ke rumah
kontrakannya. Ia memintaku tinggal bersamanya daripada keluyuran tak karuan
dan menggelandang tanpa tempat tinggal. Tentu saja aku menyanggupi
permintaan itu dengan gembira. Apalagi dari obrolan kami, aku tahu Mbak Rina
tinggal sendirian, tanpa sanak dan keluarga. Mbak Rina memiliki kesamaan
nasib denganku, sama-sama meninggalkan rumah dan tak berani pulang.
Bedanya, aku minggat setelah dituduh mencuri perhiasan oleh nenekku sendiri,
sedangkan Mbak Rina minggat karena tak mau dinikahkan dengan laki-laki
pilihan orangtuanya.

Beberapa hari tinggal di rumah kontrakan Mbak Rina, aku merasa bosan karena
tak pernah ke mana-mana. Maka pada suatu malam, aku memaksa ikut ke
tempat kerja Mbak Rina. Sebenaranya Mbak Rina melarangku, namun karena
aku keukeuh, akhirnya aku pun dibawa ke tempat hiburan tempat Mbak Rina
mencari nafkah.

Wanita itu bukan siapa-siapaku, namun kasih sayangnya kurasakan lebih dari
saudara kandungku. Bersamanya aku merasa aman dan tenteram. Apalagi
segala kebutuhanku selalu dipenuhinya dengan telaten. Mulai dari makan,
minum, hingga pakaianku selalu menjadi prioritas dan perhatiannya.
Tak mengherankan kalau kemudian aku menganggapnya sebagaimana layaknya
kakakku sendiri. Aku menghormati dan mematuhinya dengan sepenuh hati. Aku
berjanji kepada diriku sendiri akan membantunya kalau dia membutuhkan
pertolonganku.

Meski telah mendapat perlindungan yang aman dan nyaman, namun aku tetap
tidak merasa tenang. Aku selalu teringat pada adik-adikku. Bagaimana nasib
mereka kini? Masihkah mereka tinggal dengan Nenek? Apakah mereka mendapat
kehidupan yang lebih baik? Lalu, bagaimana dengan kabar Ayah dan Ibu.
Kalau teringat hal itu, aku menjadi pemurung dan ujung-ujungnya hanya bisa
menangis. Aku merasa menjadi kakak yang paling tak bertanggung jawab,
meninggalkan adik-adikku begitu saja. Bagaimana kalau nanti Ayah dan Ibu
menyalahkan aku dan meminta pertanggungjawabanku. Apa pembelaan yang
harus kuungkapkan kepada mereka.

Kalau dipikir, reaksiku memang terlalu emosional dalam merespons tuduhan
Nenek. Namun kemudian bagian lain dari diriku memberikan pembelaan atas
keputusan yang kubuat dengan minggat dari rumah Nenek. Aku merasa sudah
tidak punya tempat lagi di rumah itu kalau orang yang kuhormati tidak
mempercayaiku lagi.

Semula Mbak Rina merasa heran melihat sikapku yang terkadang uring-uringan.
Namun setelah mendengar kisahku, ia kemudian mengerti dan berjanji akan
mengantarku mencari Ayah.

Beberapa hari kemudian, Mbak Rina memenuhi janjinya untuk mengantarku
mencari Ayah. Kebetulan ia diperbolehkan untuk cuti selama beberapa hari dari
tempat kerjanya.

Pada hari yang ditentukan, dengan menumpang angkutan umum, kami pun
berangkat menuju Ciputat. Namun, ternyata kenyataan jauh lebih susah dari
yang aku bayangkan. Tanpa alamat yang jelas, usaha kami seperti mencari
jarum dalam tumpukan jerami. Upaya kami untuk mencari ayahku hanya
berbuah nihil. Aku dan Mbak Rina berusaha mendatangi setiap proyek
pembangunan yang ada di sana dan menanyakan keberadaan ayahku, namun
tak ada satu pun pekerja yang mengenalnya. Harapanku yang semula
melambung akhirnya sirna.

Aku kemudian berpikir, ditemani orang yang sudah tahu wilayah ini pun
usahaku tidak berhasil, apalagi kalau aku melakukannya seorang diri. Karena
itu, setelah tiga hari melakukan pencarian tanpa hasil, kami pun menghentikan
usaha kami. Dengan berat hati, aku mengajak Mbak Rina kembali ke Depok.
Gagal menemukan Ayah, aku kemudian diserang perasaan lain. Aku kangen
pada adik-adikku. Tentu saja aku juga rindu pada Ayah dan Ibu, namun
keinginan untuk bertemu adik-adik rasanya terus menyiksaku. Aku rindu gelak
tawa dan canda mereka. Juga rindu saat mereka merajuk meminta sesuatu
padaku.

Beruntung Mbak Rina kembali menunjukkan jiwa besarnya. Ia mengajukan diri
untuk menemaniku pulang. Semula aku menolak karena tak ingin
merepotkannya. Namun karena ia terus mendesak dan aku pun didorong
perasaan kangen yang amat sangat, akhirnya aku setuju. Namun, sebelumnya
aku meminta persetujuan Mbak Rina bahwa kepulanganku nanti akan dilakukan
diam-diam. Jangan sampai aku bersua dengan Nenek. Aku masih belum sanggup
bertemu dengannya.

Menemukan Petunjuk yang Hilang
SETELAH sekian lama terlunta-lunta dan menggelandang bersama anak-anak
jalanan, pada suatu hari Yunda bertemu dengan seorang wanita pekerja
hiburan malam. Karena merasa cocok dan memiliki kesamaan pernah minggat
dari rumah, wanita itu kemudian mengajak Yunda untuk tinggal bersamanya.
Ajakan itu tentu saja disambut Yunda dengan gembira. Akhirnya ia
mendapatkan tempat bernaung yang aman dan nyaman. Meski demikian,
perasaan rindu pada orangtua dan adik-adiknya selalu menghantuinya.
Bagaimana selanjutnya? Berikut kisahnya seperti yang dituturkan Yunda kepada
Ela Hayati.

SETELAH Mbak Rina mendapat izin dari tempatnya bekerja, kami segera
berangkat ke Bandung. Sepanjang perjalanan perasaanku berdebar-debar tak
karuan. Aku dilanda perasaan kangen dan waswas. Kangen untuk bertemu
dengan adik-adik, tapi juga waswas takut bertemu dengan Nenek.

Kembali aku harus bersyukur memiliki pelindung seperti Mbak Rina, sepanjang
perjalanan ia selalu menghiburku dan berusaha terus mengajakku berbincang,
terutama mengenai hal-hal yang lucu dan menggelitik, sehingga kami sering
tertawa dan perasaan khawatir yang kurasa sedikit demi sedikit menguap.

Meski demikian, ketika kami turun dari bus dan berjalan menyusuri jalan
setapak menuju kampungku, perasaan takut kembali menerpaku. Kalau saja tak
mengingat pengorbanan Mbak Rina mengantarku, ingin rasanya aku
mengurungkan niat pulang. Namun kembali ingatan tentang adik-adik dan
kesetiaan Mbak Rina melecutku untuk tetap teguh.

Sekitar beberapa puluh meter dari rumah Nenek, aku menyelinap ke sebuah
pos ronda di ujung kampung, sementara Mbak Rina meneruskan perjalanan.
Kami memang telah sepakat, Mbak Rina akan mengecek situasi di rumah Nenek,
sementara aku bersembunyi. Sebelumnya aku memberikan penjelasan kepada
Mbak Rina mengenai letak rumah Nenek, lengkap dengan denahnya.

Beberapa saat kemudian kulihat Mbak Rina kembali. Hatiku berdebar kencang
ingin segera mengetahui hasil "investigasi"-nya. Namun dari langkah gontai
wanita yang menjadi induk semangku itu, kepenasarananku juga melahirkan
kekhawatiran.

Mbak Rina kemudian menuturkan bahwa adik-adikku sudah tidak tinggal
bersama neneknya. Menurut seorang tetangga, adik-adikku dibawa oleh Ayah
dan Ibu ke Jakarta.

Kabar terbaru itu membuatku terlonjak karena terkejut. Ayah dan Ibu?
Bagaimana mereka bisa kembali? Dan, bagaimana mereka bisa bersama-sama
membawa adik-adikku ke Jakarta? Rupanya selama ini aku telah ketinggalan
banyak hal.

Menurut Mbak Rina, beberapa minggu setelah aku minggat, ayah dan ibuku
pulang. Rupanya selama di Jakarta, Ayah tetap berkomunikasi dengan Ibu lewat
telepon, sehingga mereka selalu berhubungan.

Selama tinggal di Jakarta, Ayah rupanya memperoleh kemajuan. Ia diterima
bekerja di sebuah perusahaan otomotif. Berbekal keterampilan dan
pengetahuan mengenai mesin yang ia dapat selama bersekolah di STM
(sekarang SMK), ia memperoleh kedudukan yang lumayan. Karena itu, ia
kemudian mengajak Ibu untuk ikut serta ke Jakarta. Mereka kemudian samasama
pulang kampung untuk menjemput kami anak-anaknya di rumah Nenek.
Namun kemudian yang mereka temui hanya adik-adikku, sementara aku sudah
angkat kaki dari rumah.

Melalui seorang tetangga terdekat, Ayah menitipkan alamat, siapa tahu aku
kembali pulang. Alamat itulah yang kini berada di genggaman Mbak Rina.
Dengan cepat, bahkan sedikit merebut, aku mengambil sehelai kertas lusuh itu
dari Mbak Rina dan segera kubaca alamatnya. Bukan main, saat itu rasanya aku
dilanda perasaan gembira dan euforia yang luar biasa. Orang-orang yang
kucintai dan selama ini tercerai-berai, kini telah bersatu kembali dan
menunggu kedatanganku di tempat yang tertera dengan jelas dan lengkap di
kertas kumal itu.

Saat itu aku mengucapkan beribu-ribu syukur kepada Allah SWT karena telah
memberikan pertolongan kepadaku melalui jalan yang sungguh tak kusangkasangka.
Pertolongan yang sangat kubutuhkan di tengah gundah gulana dan
kebingungan. Aku menangis gembira di pelukan Mbak Rina yang juga ikut
bahagia.

Hari itu juga, aku dan Mbak Rina bergegas kembali ke Jakarta. Kami akan
segera melacak alamat yang kini kusimpan dan kujaga baik-baik seperti pusaka
yang sangat berharga. Sepanjang perjalanan, hatiku kembali berdebar-debar.
Namun kalau sebelumnya berdebar karena dilanda perasaan cemas dan
waswas, kini berdebar karena dibuai harapan untuk segera bertemu dengan
keluarga yang sudah lama kurindukan. Kebahagiaan yang tumbuh di sanubariku
sebenarnya juga membuatku takut. Takut kalau semua itu hanya mimpi belaka
dan aku kemudian terbangun dengan keadaan masih seperti semula;
sebatangkara dengan orangtua yang tak diketahui rimbanya.

Kupeluk erat-erat Mbak Rina selama perjalanan ke Jakarta. Aku ingin membagi
semua kegalauanku dengan wanita yang budiman itu. Seolah mengerti, ia balas
memelukku dan membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Ah, andaikan
aku punya kakak, aku ingin kakakku seperti Mbak Rina.

Selepas isya, kami tiba di Jakarta. Sebenarnya aku ingin saat itu juga mencari
alamat orangtuaku, namun menurut Mbak Rina lebih baik beristirahat dulu agar
badan lebih segar dan pikiran kembali jernih. Lagi pula akan sulit mencari
alamat saat hari mulai gelap.

Berkumpul Kembali dengan Keluarga
KERINDUAN pada adik-adiknya membuat Yunda memutuskan untuk pulang ke
Bandung. Dengan ditemani Rina yang sudah dianggapnya sebagai kakak, Yunda
secara diam-diam kembali ke rumah sang Nenek. Ia tak berhasil menemui adikadiknya
di Bandung. Namun kabar terbaru yang diperolehnya membuatnya
sangat terkejut dan membangkitkan harapan. Ia memperoleh alamat terbaru
Ayah dan Ibunya di Jakarta. Bagaimana selanjutnya? Berikut akhir kisahnya
seperti yang dituturkan Yunda kepada Ela Hayati.

MENDENGAR itu, aku terpaksa menurut. Lagi pula apa yang diutarakan Mbak
Rina ada benarnya. Perjalanan pulang pergi Jakarta-Bandung dalam sehari (saat
itu belum ada Tol Cipularang) memang membuat sekujur tubuhku letih luar
biasa. Beberapa kali aku menguap dan mataku terasa sangat berat. Karena itu,
kami pun naik angkot menuju ke rumah kontrakan Mbak Rina. Biarlah esok kami
melanjutkan pencarian.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku dan Mbak Rina sudah bangun. Bahkan
sebenarnya aku nyaris tidak tidur semalaman karena terus teringat pada
keluarga dan sudah tak sabar mencari alamat mereka. Sepanjang malam
terbayang-bayang wajah Ayah, Ibu, dan tiga adikku berseliweran dalam
benakku bagaikan dalam film. Aku baru bisa tidur menjelang dini hari. Karena
itu, ketika Mbak Rina membangunkanku selepas subuh, tubuhku terasa lemas
dan lesu.

Kami kemudian bergegas menuju terminal bus. Daerah yang kami tuju adalah
wilayah Gambir di Jakarta Pusat. Setelah beberapa kali berganti angkutan
umum, kami pun tiba di daerah Gambir.

Menurut alamat yang tertera di kertas, kami harus berjalan beberapa ratus
meter untuk sampai di tempat yang di tuju. Setelah bertanya ke sana kemari,
akhirnya langkah kaki kami terhenti di sebuah rumah sederhana di tengah
permukiman. Walaupun kecil, rumah itu tampak bersih dan terawat, dengan
halaman yang dibatasi pagar hidup dan bunga-bunga di pot yang berjejer rapi.
Aku agak ragu ketika hendak melangkah masuk ke halaman, namun Mbak Rina
menggandengku dengan mantap, menguatkan hatiku yang berdebar tidak
karuan.

Dengan tangan bergetar aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Hal itu
kulakukan dua kali sebelum kemudian dari dalam kudengar suara jawaban.
Suara wanita. Suara yang sangat kukenal karena suara itu sangat akrab di
telingaku, bahkan sebelum aku lahir. Suara itu pulalah yang menemaniku
semenjak membuka mataku di dunia ini hingga beranjak besar. Suara itu pula
yang membuat keyakinanku semakin kuat, sehingga ketika daun pintu itu baru
saja terbuka dan orang yang membukanya belum tampak, aku sudah menubruk
masuk dan langsung memeluk wanita di depanku.

"Ibu....oh...Ibu...," hanya itulah kata yang sanggup kuucapkan di pelukan
wanita itu, sebelum kemudian menangis sepuasnya. Ibu memelukku dengan
erat. Kupastikan ia terkejut oleh pertemuan yang tiba-tiba itu. Tak heran ia
pun tak kalah histeris dan mendekap tubuhku kuat-kuat.

Keributan itu memancing penghuni rumah yang lainnya keluar. Yang pertama
kulihat adalah Ayah. Disusul kemudian oleh tiga adikku yang tampak gemuk dan
sehat. Semula mereka terheran-heran melihat dua wanita asing yang salah
satunya berpelukan dan bertangis-tangisan dengan ibu mereka. Namun begitu
melihat dan mengenaliku, mereka pun berteriak girang dan ikut memelukku.
Setelah adegan pertemuan yang mengharu biru, kami kemudian saling berbagi
cerita. Aku yang pertama menceritakan pengalamanku. Kututurkan semuanya
dari mulai minggat hingga pertemuanku dengan Mbak Rina dan perjuangan
menemukan keluarga.

Ibu yang tak mau melepaskan pelukannya, menangis mendengarkan kisahku dan
berulang kali meminta maaf. Demikian pula dengan Ayah yang merasa bersalah
telah mengabaikan aku.

Secara sepintas Ayah dan Ibu menceritakan perjalanan mereka ketika
meninggalkan kami. Ketika Ayah pergi menjadi kuli bangunan di Jakarta, Ibu
mencoba mengadu nasib ke Cirebon atas ajakan temannya. Selama pergi
mencari nafkah itu, Ibu bisa berhubungan dengan Ayah melalui telepon.
Keberuntungan mulai menghampiri ketika Ayah ditawari bekerja oleh pemilik
rumah yang Ayah bangun, di sebuah perusahaan otomotif. Ayah memang
memiliki pengetahuan yang luas tentang mesin karena pernah mengenyam
pendidikan di bangku STM (sekarang SMK). Apalagi ketika bekerja di pabrik
tekstil sebelum dipecat dulu, pekerjaan Ayah memang tidak jauh dari urusan
membongkar dan memperbaiki mesin pabrik.

Setelah memperoleh pekerjaan dengan penghasilan tetap dan dapat
diandalkan, Ayah kemudian mengajak Ibu untuk mengambil anak-anaknya di
Bandung. Namun yang mereka temui ternyata jauh dari harapan karena aku
telah menghilang dari rumah Nenek.

Di sela perbincangan, aku menanyakan keadaan Nenek kepada Ibu. Beliau
berkata bahwa Nenek masih sehat dan berada di Bandung. Kalung yang sempat
hilang dan menjadi penyebab kepergianku, ditemukan beberapa hari setelah
aku pergi. Rupanya kalung itu terselip di antara tumpukan baju nenek di dalam
bufet. Karena itu Nenek sangat menyesal telah menuduhku mencuri, dan
beberapa kali meminta maaf kepada Ibu dan Ayah. Sebenarnya Ibu sangat
marah pada Nenek. Tapi bagaimanapun, Nenek adalah ibu kandungnya sendiri
dan satu-satunya orangtua yang tersisa setelah Kakek meninggal, sehingga Ibu
memaafkannya. Demikian pula dengan Ayah, sudah memaafkan Nenek.
Hal itu membuatku lega. Apalagi aku pun tidak pernah memendam perasaan
dendam pada Nenek. Yang kulakukan saat minggat hanyalah kemarahan sesaat
dari seorang remaja, namun aku sama sekali tidak menyimpan kesumat.
Kuanggap apa yang telah kualami sebagai pengalaman yang berharga agar aku
lebih kuat dan dewasa.

Mendapat Kesempatan Membalas Budi
SETELAH terpisah selama bertahun-tahun, akhirnya Yunda bisa menemukan
keluarganya kembali. Ternyata selama ini orangtuanya tinggal begitu dekat
dengannya, sama-sama berada di wilayah Ibu Kota Jakarta. Namun Yunda
menyadari, pertemuan itu bisa terjadi berkat bantuan Yang Mahakuasa melalui
wanita yang selalu membelanya selama ini, Rina. Tanpa wanita itu, ia
menyadari tak akan bisa berbuat apa-apa. Bagaimana selanjutnya? Berikut
kisahnya seperti yang dituturkan Yunda kepada Ela Hayati.

PUAS melepaskan rindu, aku kemudian teringat pada Mbak Rina. Ya Tuhan, aku
sungguh malu, karena sekejap agak melupakan perempuan itu di tengah
kegembiraan ini. Aku kemudian memperkenalkannya kepada keluargaku dan
kukatakan bahwa Mbak Rinalah yang menjadi penolongku selama ini. Tanpa ada
dia di sampingku, belum tentu aku bisa berkumpul kembali dengan keluarga.
Mendengar itu, Ibu memeluk Mbak Rina dan mengucapkan beribu-ribu terima
kasih. Mbak Rina hanya tersipu dan merendah bahwa apa yang dilakukannya
hanyalah pertolongan kecil.

Melihatku kembali berkumpul dengan keluarga dan tersenyum bahagia, sudah
membuatnya bahagia. Baginya, kebahagiaanku adalah kebahagiaannya juga
karena aku sudah dianggapnya sebagai adik.

Aku langsung memeluk Mbak Rina setelah mendengar ucapannya. Bening,
begitu bening hati wanita itu tanpa cela sedikit pun bagiku. Profesinya sebagai
pemandu lagu di klub malam sering dipandang miring oleh orang lain. Tapi
bagiku, justru dia adalah manusia paling budiman yang pernah kutemui. Ia
mengulurkan tangannya untuk melindungi dan merawat aku di saat aku
tersuruk-suruk tak tentu arah di jalanan. Karena itu, aku berjanji kalau ada
kesempatan, akan membantu apa pun yang ia minta.

Walaupun aku telah bertemu dengan keluargaku dan Ayah serta Ibu memintaku
dengan sangat, namun aku tetap tinggal dengan Mbak Rina di Depok. Aku
memang bisa saja tinggal dengan keluargaku. Tapi rasanya tidak adil kalau
dengan tiba-tiba meninggalkan Mbak Rina begitu saja. Tak apalah, lagi pula kini
aku sudah beranjak dewasa, tak pantas lagi merepotkan orangtua. Aku ingin
menjadi orang yang mandiri. Lagi pula setiap hari Minggu, aku secara rutin
berkunjung ke rumah keluargaku.

Satu-satunya yang kuinginkan kini adalah menemani dan membantu Mbak Rina.
Tidak sepertiku yang sudah mendapatkan kembali keluargaku secara utuh,
Mbak Rina masih sebatangkara. Sangat tidak pantas kalau membiarkannya
sendirian, seperti ungkapan habis manis sepah dibuang.

Mbak Rina tentu saja senang dengan keputusanku. Semula ia memang sempat
khawatir aku akan pindah ke rumah keluargaku. Namun setelah mendengar
niatku untuk tetap tinggal dengannya, kekhawatirannya musnah berganti
dengan rasa senang. Seperti aku, ia pun kini tidak merasa sendirian lagi.
Rupanya harapanku untuk membalas kebaikan Mbak Rina dikabulkan Tuhan.
Pada suatu hari, ia memintaku dengan setengah memohon menemaninya
pulang ke rumah orangtuanya di daerah Jawa Tengah.

Seperti terinspirasi oleh pengalamanku dulu, ia pun rindu kepada ibu dan
bapaknya yang sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun. Mbak Rina sadar
orangtuanya kini pasti sudah uzur. Dalam hati sebenarnya ia merasa waswas
tidak bisa menemui orangtuanya lagi. Alangkah malangnya ia kalau maut
keburu menjemput ibu bapaknya sebelum ia memohon pengampunan.
Selain itu, ia pulang untuk meminta izin kepada ayahandanya untuk menikah
dengan tunangannya. Ya, selama ini, Mbak Rina memang telah menjalin
hubungan serius dengan seorang pria. Dan kini, pacarnya mendesak untuk
segera menikahinya.

Mbak Rina mengajakku berangkat ke Jawa Tengah karena ia sangat
membutuhkan teman untuk saling bergantung. Terutama untuk menguatkan
hatinya saat ia menghadap ayahnya. Seperti aku dulu, kalbunya pasti sedang
berkecamuk dahsyat dalam pergulatan antara kerinduan untuk pulang dan rasa
takut tidak diterima lagi. Memang, setelah kabur dari rumah orangtuanya,
Mbak Rina tidak pernah berani pulang.

Bagiku sendiri, inilah kesempatanku untuk membalas kebaikan wanita yang
selama ini selalu jadi pembelaku. Aku memberanikan diri pergi ke sana. Semua
itu demi kebahagiaan Mbak Rina.

Maka, pada hari yang ditentukan, setelah mendapat izin dari ayah dan ibu, aku
dan Mbak Rina berangkat ke Jawa Tengah dengan naik bus. Sepanjang
perjalanan Mbak Rina menggenggam tanganku erat, seolah minta kekuatan
kepadaku. Tentu saja segala daya dan kekuatan kulimpahkan kepada wanita
penuh kasih itu. Aku telah menancapkan tekad, ke mana pun dia pergi akan
kutemani.

Tempat tinggal Mbak Rina ternyata sangat jauh. Dari Semarang, kami harus
bergonta-ganti naik angkutan umum. Selain itu, Mbak Rina yang sudah lama
tidak pulang, terkadang kebingungan karena banyak angkutan umum yang telah
berubah rutenya. Sehingga, kami pun harus rajin bertanya kalau tidak mau
tersesat. Setelah bertanya sana-sini dan menempuh perjalanan yang lumayan
jauh, kami pun sampai di tempat tujuan.

Yang dapat kuceritakan selanjutnya adalah sebuah momen kesedihan. Tak ada
lagi yang bisa Mbak Rina temui di kampungnya. Ia hanya menjumpai dua batu
nisan yang berdampingan di sebuah pemakaman umum. Ia terlambat. Sangat
terlambat. Karena ayahandanya telah meninggal dua tahun sebelum kami tiba
di tempat itu, menyusul sang istri yang wafat beberapa bulan setelah Mbak
Rina minggat.

Belum pernah sebelumnya kulihat wanita yang sangat kukagumi itu menangis
begitu merana. Di pusara kedua orangtuanya, Mbak Rina mengadukan segala
beban yang selama ini ditanggungnya. Tak henti-henti ia memohon ampun
karena telah menjadi anak yang lalai dan durhaka.

Beberapa hari kemudian, kami berangkat lagi ke Jakarta. Dengan berat hati,
Mbak Rina kembali pergi meninggalkan kampungnya. Kepada kerabatnya, ia
minta makam orangtuanya selalu dirawat dan dibersihkan. Ia berjanji akan
berziarah secara rutin, setidaknya setahun sekali.
tamat

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kenangan Selama Dalam Pelarian"

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...