Khilaf Para Ulama
Selama ini pemahaman kebanyakan umat adalah bahwa masalah khilafiyah akan mengajak kepada perpecahan. Sehingga orang-orang cenderung untuk menghindari pembicaraan yang terkait dengan khilafiyah. Padahal masalah yang mengandung khilafiyah bukan seharusnya dihindari, melainkan justru perlu dipelajari dengan baik dan seksama.
Tidak Ada Adzab Selama Masih Khilaf
Orang yang dihukum Allah SWT dengan siksa yang pedih dan berat adalah orang yang secara sengaja dan jelas-jelas melanggar apa yang telah diharamkan Allah.
Keharamannya adalah keharaman yang jelas dan telah menjadi ijma' atau minimal menjadi pendapat mayoritas ulama dengan didukung dengan dalil-dalil yang qath'i. Baik qath'i secara tsubut maupun qath'i secara dilalah. Misalnya keharaman dari minum khamar, berzina, membunuh nyawa yang bukan haknya, mencuri, berkhianat, dan seterusnya. Semua itu adalah keharaman yang sudah berlabel muttafaqun 'alaihi di semua lapis
umat Islam.
Anak nongkrong di pinggir jalan pun tahu kalau minum khamar itu haram, meski dia sedang melakukannya. Kalau jenis dosa seperti itu tetap dilakukan juga, dengan sengaja, dengan sepenuh kesadaran serta tahu resikonya, maka barulah seseorang akan disiksa di neraka.
Tetapi...
Manakala suatu hukum masih menjadi perdebatan para ulama, karena memang dalilnya memungkinkan terjadinya beberapa versi kesimpulan, maka kalau ada orang yang memilih salah satu versi pendapat itu, tentu tidak akan dikenai sanksi oleh Allah SWT. Sebab sebagian ulama mengatakan haram tetapi sebagianmengatakan halal. Sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan menjadi berbagai versi pemahaman.
Logikanya sederhana saja, bagaimana mungkin Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang itu 'main hakim sendiri', main siksa atau ‘main kayu’ kepada hamba-hamba-Nya, sementara aturannya tidak jelas, ketentuannya masih multi tafsir dan semua itu memang sulit dipungkiri. Lalu di mana keadilan Allah? Dimana kerahiman Allah? Mengapa Allah seakan membuat ‘jebakan’ buat hamba-Nya sendiri? Mengapa Allah SWT sengaja membuat dalil yang multi-tafsir, lalu siapa yang salah dalam menafsirkannya, harus siap dilumat api neraka. Tentu Allah SWT bukanlah tuhan dengan sikap rendah seperti itu. Seandainya hukum isbal tanpa niat riya' itu tidak multitafsir, pastilah semua ulama sampai titik kesepakatan bulat tentang keharamannya. Sayangnya, dalil-dalil isbal itu memang nyata multi-tafsir, sehingga semua kutub pendapat yang lahir darinya adalah ijtihad manusiawi.
Bahkan sampai level ulama besar Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar pun mengatakan halal bila tanpa niat isbal. Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa An-Nawawi dan Ibnu Hajar akan masuk neraka lantara keduanya salah tafsir? Yang seharusnya menjadi cara pandang kita adalah selama masalah itu khilaf ulama, karena ditetapkan oleh dalil yang zdhanni secara istidlal, maka tidak ada siksa pedih. Sebab para mujtahid itu tidak akan disiksa hanya karena kesahalan dalam ijtihadnya. Bila ijtihadnya salah, malah dia tetap dapat pahala. Sebaliknya, bila ijtihadnya benar, dia akan dapat dua pahala. Adalah salah besar kalau seorang mujtahid salah dalam berijtihad akan disiksa di neraka sebagai hukuman atas kesalahannya. Tetapi kalau yang berijtihad itu memang bukan orang yang punya kapasitas menjadi mujtahid, lalu sok mau berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, jelas dia telah salah. Dan wajar kalau dia disiksa di neraka.
Seorang yang bukan mujtahid, tidak punya otoritas untuk berijtihad. Kalau dia melakukannya dan salah,
maka dia harus menanggung resikonya.
Pertanggungjawaban
Seorang awam seperti kita, tidak ada kewajiban untuk melakukan ijtihad sendiri. Sebab syarat sebagai seorang mujtahid tidak atau belum terpenuhi pada diri kita. Maka kita dibolehkan bertaqlid kepada fatwa para ulama Allah, tidak akan murka tentunya, sebab seorang mujtahid yang berijtihad tidak akan disiksa di neraka, bahkan dia tetap dapat satu pahala. Maka kita yang mengikuti fatwa mujtahid yang -katakanlah- ternyata terbukti salah di hari akhir, tentu juga tidak akan disiksa. Malah kita juga dapat pahala dari Allah.
Kok dapat pahala? Kan salah?
Ya, dapat pahala. Karena kita telah melakukan perintah Allah untuk bertanya kepada ahlinya. Bukankah Allah SWT memerintahkan kita dalam firman-Nya.
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (mujtahid/ulama) jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 43) Allah tidak mengatakan "Bertanyalah kepada orang yang pasti benar dalam ijtihadnya." Tetapi hanya memerintahkan untuk bertanya kepada ahlinya, yaitu mujtahid yang diakui kapasitasnya. Kita sudah bertanya kepada mujtahid, maka kita sudah dapat pahala. Kalau ternyata ijtihadnya salah, tidak ada ayat atau hadits yang menyebutkan bahwa salahnya ijtihad para ulama akan melahirkan dosa dan siksa. Yang akan disiksa adalah orang dengan kapasitas bukan mujtahid, tetapi berlagak seperti mujtahid, lalu salah. Maka siksaanlah akibatnya.
Tidak Ada Adzab Selama Masih Khilaf
Orang yang dihukum Allah SWT dengan siksa yang pedih dan berat adalah orang yang secara sengaja dan jelas-jelas melanggar apa yang telah diharamkan Allah.
Keharamannya adalah keharaman yang jelas dan telah menjadi ijma' atau minimal menjadi pendapat mayoritas ulama dengan didukung dengan dalil-dalil yang qath'i. Baik qath'i secara tsubut maupun qath'i secara dilalah. Misalnya keharaman dari minum khamar, berzina, membunuh nyawa yang bukan haknya, mencuri, berkhianat, dan seterusnya. Semua itu adalah keharaman yang sudah berlabel muttafaqun 'alaihi di semua lapis
umat Islam.
Anak nongkrong di pinggir jalan pun tahu kalau minum khamar itu haram, meski dia sedang melakukannya. Kalau jenis dosa seperti itu tetap dilakukan juga, dengan sengaja, dengan sepenuh kesadaran serta tahu resikonya, maka barulah seseorang akan disiksa di neraka.
Tetapi...
Manakala suatu hukum masih menjadi perdebatan para ulama, karena memang dalilnya memungkinkan terjadinya beberapa versi kesimpulan, maka kalau ada orang yang memilih salah satu versi pendapat itu, tentu tidak akan dikenai sanksi oleh Allah SWT. Sebab sebagian ulama mengatakan haram tetapi sebagianmengatakan halal. Sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan menjadi berbagai versi pemahaman.
Logikanya sederhana saja, bagaimana mungkin Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang itu 'main hakim sendiri', main siksa atau ‘main kayu’ kepada hamba-hamba-Nya, sementara aturannya tidak jelas, ketentuannya masih multi tafsir dan semua itu memang sulit dipungkiri. Lalu di mana keadilan Allah? Dimana kerahiman Allah? Mengapa Allah seakan membuat ‘jebakan’ buat hamba-Nya sendiri? Mengapa Allah SWT sengaja membuat dalil yang multi-tafsir, lalu siapa yang salah dalam menafsirkannya, harus siap dilumat api neraka. Tentu Allah SWT bukanlah tuhan dengan sikap rendah seperti itu. Seandainya hukum isbal tanpa niat riya' itu tidak multitafsir, pastilah semua ulama sampai titik kesepakatan bulat tentang keharamannya. Sayangnya, dalil-dalil isbal itu memang nyata multi-tafsir, sehingga semua kutub pendapat yang lahir darinya adalah ijtihad manusiawi.
Bahkan sampai level ulama besar Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar pun mengatakan halal bila tanpa niat isbal. Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa An-Nawawi dan Ibnu Hajar akan masuk neraka lantara keduanya salah tafsir? Yang seharusnya menjadi cara pandang kita adalah selama masalah itu khilaf ulama, karena ditetapkan oleh dalil yang zdhanni secara istidlal, maka tidak ada siksa pedih. Sebab para mujtahid itu tidak akan disiksa hanya karena kesahalan dalam ijtihadnya. Bila ijtihadnya salah, malah dia tetap dapat pahala. Sebaliknya, bila ijtihadnya benar, dia akan dapat dua pahala. Adalah salah besar kalau seorang mujtahid salah dalam berijtihad akan disiksa di neraka sebagai hukuman atas kesalahannya. Tetapi kalau yang berijtihad itu memang bukan orang yang punya kapasitas menjadi mujtahid, lalu sok mau berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, jelas dia telah salah. Dan wajar kalau dia disiksa di neraka.
Seorang yang bukan mujtahid, tidak punya otoritas untuk berijtihad. Kalau dia melakukannya dan salah,
maka dia harus menanggung resikonya.
Pertanggungjawaban
Seorang awam seperti kita, tidak ada kewajiban untuk melakukan ijtihad sendiri. Sebab syarat sebagai seorang mujtahid tidak atau belum terpenuhi pada diri kita. Maka kita dibolehkan bertaqlid kepada fatwa para ulama Allah, tidak akan murka tentunya, sebab seorang mujtahid yang berijtihad tidak akan disiksa di neraka, bahkan dia tetap dapat satu pahala. Maka kita yang mengikuti fatwa mujtahid yang -katakanlah- ternyata terbukti salah di hari akhir, tentu juga tidak akan disiksa. Malah kita juga dapat pahala dari Allah.
Kok dapat pahala? Kan salah?
Ya, dapat pahala. Karena kita telah melakukan perintah Allah untuk bertanya kepada ahlinya. Bukankah Allah SWT memerintahkan kita dalam firman-Nya.
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (mujtahid/ulama) jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 43) Allah tidak mengatakan "Bertanyalah kepada orang yang pasti benar dalam ijtihadnya." Tetapi hanya memerintahkan untuk bertanya kepada ahlinya, yaitu mujtahid yang diakui kapasitasnya. Kita sudah bertanya kepada mujtahid, maka kita sudah dapat pahala. Kalau ternyata ijtihadnya salah, tidak ada ayat atau hadits yang menyebutkan bahwa salahnya ijtihad para ulama akan melahirkan dosa dan siksa. Yang akan disiksa adalah orang dengan kapasitas bukan mujtahid, tetapi berlagak seperti mujtahid, lalu salah. Maka siksaanlah akibatnya.
0 Response to "Khilaf Para Ulama"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...