Poligami! Jangan Katakan itu Padaku

Ketika seorang suami ingin berpoligami tentunya ada ketentuan-ketentuan yang harus dipertimbangkan bukan sekedar hanya ingin mengutamakan khasrat seksualnya saja dalam islam pun telah diatur dengan secara rinci masalah ini.

Syarat yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal dan tidak bertentangan dengan maksud akad, syarat seperti ini silakan dikatakan atau ditetapkan dalam akad apa pun, termasuk akad pernikahan.

Istri berhak dan boleh meletakkan syarat atas suami agar tidak dimadu alias suami tidak berpoligami, syarat seperti ini sah, tidak bertentangan dengan dibolehkannya atau disyariatkannya poligami, karena syarat ini hanya membatasi bukan melarang, suami tetap boleh menikah lagi dengan wanita kedua atau ketiga, tetapi karena istri pertama tidak mau, maka dia harus melepasnya, silakan suami menerima atau tidak, kalau suami menerima maka dia harus memegang syarat tersebut, kalau tidak menerima maka seorang laki-laki bisa beralih untuk meminang wanita yang lain.

Penjelasan:
Sebagaimana Islam mengaitkan poligami dengan kemampuan untuk berlaku adil dan membatasinya dengan empat isteri, begitu pula ia menjadikan sebagian dari hak wanita atau walinya untuk memberikan syarat agar tidak di’madu’ [dipoligami].

Maka, bila seorang isteri mensyaratkan di dalam ‘aqad nikahnya agar suami tidak menikah lagi (memadunya), maka syarat ini adalah sah hukumnya dan berlaku.

Implikasinya, sang isteri memiliki hak untuk membatalkan pernikahannya bila sang suami tidak menepatinya dan haknya di dalam pembatalan tersebut tidak gugur kecuali bila dia sendiri yang menggugurkannya dan rela melanggarnya.

Ini merupakan pendapat Imam Ahmad yang diperkuat oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. Demikian pula, ini adalah pendapat ‘Umar bin al-Khaththab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mu’awiyah, ‘Amr bin al-’Ash, Jabir bin Zaid, Thawus, Imam Auza’iy, Ishaq dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

Alasannya, bahwa syarat-syarat di dalam pernikahan lebih besar dampaknya ketimbang syarat-syarat di dalam jual-beli, sewa, dan seterusnya. Oleh karena itulah, wajib komitmen terhadapnya dan menepatinya.

Pendapat ini didukung oleh beberapa dalil, diantaranya:

1. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk ditepati adalah apa yang dengannya dihalalkan bagi kalian faraj (nikah).”

2. Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah bahwasanya al-Miswar bin Makhramah mengatakan kepadanya bahwa dirinya mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika di atas mimbar bersabda, “Sesungguhnya Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, lantas aku tidak mengizinkan mereka, kemudian tidak aku izinkan, kemudian tidak aku izinkan kecuali bila Ibnu Abi Thalib (yakni ‘Ali) rela untuk menceraikan anakku dan menikahi anak perempuan mereka (tersebut). Sesungguhnya anakku adalah bagian dariku, apa yang menyangsikannya (akibatnya fatal baginya) adalah juga apa yang aku rasakan, dan apa yang menyakitinya adalah juga menyakitiku.”

3. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Sesungguhnya Fathimah adalah dariku dan aku khawatir hal itu akan membuatnya terfitnah di dalam agamanya.”

Terkait dengan hadits tersebut, Ibnu al-Qayyim mengomentari,”Hukum tentang hal ini mengandung beberapa hal: bahwa seorang laki-laki bila memberikan syarat kepada isterinya bahwa dirinya tidak menikah dengan selainnya (memadunya), maka dia mesti menepati syarat tersebut dan bilamana dia menikah dengan selainnya (memadunya) maka adalah hak sang isteri untuk membatalkannya (fasakh). Sedangkan sisi cakupan hadits terhadap hal tersebut adalah bahwa dalam hadits tersebut Rasulullah memberitahukan bahwa hal itu menyakiti Fathimah radhiallaahu ‘anha, membuatnya sangsi/takut akan akibatnya yang fatal dan hal ini juga akan dirasakan oleh beliau…”.

Tentunya, ada pendapat ulama yang lain berkaitan dengan pensyaratan ini, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, dll bahwa persyaratan itu dianggap tidak ada dan tidak mesti dipenuhi oleh suami. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah,

Hadits Rasulullah bahwa beliau bersabda, “(Ikatan yang terjadi diantara) kaum Muslimin berdasarkan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal“. Mereka berkata, Syarat yang disyaratkan tersebut (mensyaratkan tidak dimadu) adalah mengharamkan hal yang dihalalkan, yaitu menikah (secara terang-terangan), menikah (secara sembunyi dengan budak) dan bepergian. Semua ini adalah halal, jadi kenapa diharamkan. Dan banyak lagi dalil yang lain, demikian pula dengan pendapat pertama, banyak lagi dalil-dalil mereka.

Ibnu Qudamah menguatkan pendapat pertama, diantara alasannya, bahwa pendapat-pendapat para sahabat yang telah disebutkan (oleh beliau di dalam bukunya al-Mughni yang mendukung pendapat pertama) tidak ada yang menentangnya pada masa mereka di kalangan para shahabat, maka ini dapat dikatakan sebagai ijma’.

Kami cenderung dengan pendapat pertama karena argumentasinya lebih kuat. Wallaahu a’lamu bish shawab.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Poligami! Jangan Katakan itu Padaku"

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...