Kewajiban Sebelum Jihad

"Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul) Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur`an dengan jihad yang besar". [Al Furqon : 51-52]

Surat ini dikategorikan sebagai surat Makkiyah, yaitu turun ketika Nabi n masih di Mekkah. Rahasia pertama ayat ini menunjukkan, bahwa makna jihad dalam ayat ini ialah jihad dengan menegakkan hujjah dan argumentasi terhadap orang kafir, yakni dengan menyampaikan Al Qur`an, sebagaimana berjihad melawan orang munafik hanyalah dengan menegakkan hujjah, menunjukkan kepada kebenaran dan membantah kebatilan.

Adapun rahasia yang kedua, bahwa Allah memerintahkan jihad (berperang dengan pedang dan kekuatan) melawan orang-orang kafir, yaitu setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat memiliki syarat-syarat untuk menegakkan jihad. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat tidak diperintahkan berjihad ketika Beliau di Mekkah, karena saat itu mereka berada di bawah kekuasaan musuh. Dan setelah Beliau di Madinah dan telah memiliki persiapan untuk berperang, maka syariat berjihad diperintahkan.

Ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Allah senantiasa merahmati kita. Tidak mungkin kaum Muslimin bisa memerangi orang kafir, kecuali dengan persiapan dan senjata. Sebagai pelajaran, Allah telah menjelaskan keberadaan orang-orang munafik yang enggan berangkat berperang, sehingga mereka tidak mengadakan persiapan. Allah berfirman:

"Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-oang yang tinggal itu”. [At Taubah : 46].

Lalu Allah memerintahkan kepada para mujahidin agar mengadakan persiapan perang. Allah berfirman.

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah ……" [Al Anfal : 60]

Ingatlah, orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani atau yang lainnya, mereka akan senantiasa meneror dan membikin makar terhadap kaum muslimin dari dua sisi.

Pertama : Teror pemikiran (irhab fikri). Yaitu usaha orang-orang kafir untuk menggelincirkan kaum Muslimin dari kemurnian ajaran agama yang haq ini. Mereka melontarkan syubhat-syubhat, tadlis (pemalsuan), talbis (kerancuan), sehingga bisa menumbuhkan sikap keragu-raguan kaum muslimin terhadap kebenaran ajaran Islam. Program ini dikemas dengan dukungan dana yang dikucurkan kepada kalangan ahli bid’ah yang telah menyeru manusia ke jurang api neraka.

Untuk menyempurnakan programnya ini, mereka menempuh berbagai cara. Di antaranya :
1. Pertukaran pelajar, sebagai sarana pencucian otak anak-anak kaum Muslimin. Sehingga setelah pelajar-pelajar Islam ini pulang, akan menjadi pion mempropagandakan syubhat-syubhat.
2. Orientalis, dari sinilah musuh-musuh Allah melakukan gerakan-gerakan tersembunyi dengan dalil riset dan penelitian ilmiyah. Para orientalis tersebut bekerja untuk kepentingan intelejen Kristen dan Yahudi.

Kedua : Teror fisik (irhab jasadi). Yaitu usaha orang-orang kafir untuk membunuh kaum Muslimin, menguasai negara-negara Islam, menguasai perekonomian kaum Muslimin serta menjajah negara-negara Islam.

Maka menjadi kewajiban kaum Muslimin untuk melakukan persiapan agar mampu menegakkan tugas jihad ini, sehingga kaum Muslimin bisa mencapai kejayaan. Karena telah menjadi ketentuan Allah, bahwa segala akibat ada sebabnya.

Wahai kaum muslimin, semoga Allah merahmati kita. Kita memiliki keinginan yang sama untuk menegakan panji jihad dan menegakkan panji-panji Allah di muka bumi dan merindukan kemenangan. Untuk mengemban tugas ini, Allah telah mensyaratkan bagi kita dua hal. Barangsiapa yang dapat memenuhinya, maka ia akan sampai kepada apa yang diinginkannya. Kedua syarat tersebut ialah :

Pertama : Al i’dad al imani (mempersiapan kekuatan iman), hal itu karena Allah telah memberikan jaminan kemenangan bagi ahli iman.
Kedua : Al i’dad al madi (mempersiapkan perbekalan materiil), meliputi mempersiapan perlengkapan senjata dan sejenisnya, yang merupakan syarat penting untuk melawan mereka. Allah berfirman, yang artinya: "Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang yang dengan persiapan itu kamu menggentarkan musuh Allah". [Al Anfal 60].

Dari dua syarat ini, al i‘dad al imani harus lebih didahulukan daripada al i’dad al madi. Rasul yang mulia telah menempuh jalan ini dan telah menyempurnakannya.

TENTANG AL I‘DAD AL IMANI
Al i’dad al imani adalah takwa kepada Allah. Takwa merupakan persiapan pertama dan utama, karena Allah telah menjanjikan kemenangan, dan akan memberikan pertolongan hanya kepada orang-orang yang bertakwa. Allah berfirman :

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa". [Thaha:132]

"Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; dipusakakanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". [Al ‘A’raf:128]

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan" [An Nahl:128].

Rukun Takwa
Rukun takwa ada tiga. Pertama, al ikhlash (tauhid) memurnikan ibadah hanya kepada Allah. Kedua, al ittiba’ (mengikuti Rasulullah). Ketiga, ilmu.

Berkaitan dengan pentingnya dan keutamaan ikhlas (tauhid) ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mendiamkan pelanggaran terhadap tauhid, meskipun dalam peperangan.

At Tirmidzi telah meriwayatkan dari sahabat Abi Waqid Al Laitsi, ia berkata: Suatu saat kami pergi bersama Rasulallah ke Hunain, sedangkan kami dalam keadaan baru lepas dari kekafiran (baru masuk Islam). Ketika itu orang-orang kafir musyrikin mempunyai sebatang pohon bidara yang disebut Dzatu Anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantung senjata-senjatanya pada pohon itu. Tatkala kami melewati sebatang pohon bidara, kamipun berkata: “Wahai Rasulullah! Buatkan untuk kami Dzat Anwath,” maka Rasulullah bersabda:

"Allahu Akbar. Itu adalah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Demi Allah, yang diriku berada di tanganNya. Kamu benar-benar telah mengatakan sesuatu perkataan seperti yang telah dikatakan Bani Israil kepada Musa,”Buatlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sembahan”. Musa menjawab,”Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak mengerti. Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelummu”. [HR Tirmidzi].

Seandainya para aktifis pergerakan dan juru dakwah saat ini mencermati kandungan dan rahasia yang terdapat dalam hadits ini, tentulah mereka tidak akan meremehkan perkara tauhid dengan alasan ingin mendapatkan jumlah pendukung yang banyak dan menyatukan kaum Muslimin. Lihatlah, apa yang diperbuat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ; Beliau tidak berdiam diri untuk tidak mengingkari kemusyrikan karena ingin mempertahankan jumlah yang banyak, atau alasan khawatir akan terjadi perpecahan. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia mengetahui, seandainya orang-orang yang baru masuk Islam itu didiamkan dalam keadaan musyrik, tentulah mereka akan menjadi fitnah bagi kaum Muslimin, dan menjadi penyebab utama kekalahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Mengajarkan Tauhid Dalam Jihad Difa’
Saat itu kaum Muslimin di Syam sedang dalam cengkeraman orang-orang Tartar yang begitu kuat. Kaum Muslimin pun bangkit melancarkan jihad difa’ (defensive), sementara itu kesyirikan berada di tengah-tengah mereka.

Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memulai dengan terlebih dahulu meluruskan aqidah ummat, menyeru kepada tauhid. Beliau rahimahullah menulis sebuah buku yang berjudul Talkhish Kitab lstigatsah, dimaksudkan sebagai bantahan terhadap Al Bakri.

Syaikhul Islam berkata: “Seandainya mereka yang beristigatsah dengan selain Allah (yaitu penghuni-penghuni) kubur bersamamu dalam barisan perang, tentulah engkau akan mendapatkan kekalahan, sebagaimana kaum Muslimin mendapatkan kekalahan dalam perang Uhud”.

Pernyataan Syaikhul Islam lbnu Taimiyah ini mengandung dua faidah yang besar. Pertama. Wajib dan betapa pentingnya meluruskan aqidah kaum Muslimin yang hendak berjihad. Kedua. Menunjukkan kefaqihan beliau rahimahullah, karena beliau telah berdalil untuk perkara yang besar dengan perkara yang rendah. Maksudnya, apabila kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud disebabkan maksiat semata dan bukan karena syirik, maka bagaimana mungkin kaum Muslimin pada hari ini mampu berperang mengalahkan musuh, seandainya di dalam barisan kaum Muslimin terdapat orang-orang yang menyekutukan Allah, melakukan bid’ah dan perbuatan maksiat lainnya.

Ingatlah, kemenangan dan pertolongan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertauhid dan mengamalkan Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik". [An Nur : 55].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, setelah kaum muslimin meluruskan aqidah mereka dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah, hanya beristighatsah kepada Allah, maka Allah akan menolong mereka untuk mengalahkan musuh, sehingga mereka mendapatkan berbagai kemenangan dalam peperangan (melawan Tartar); suatu kemenangan yang tidak pernah didapatkan sebelumnya, kecuali setelah mereka memurnikan tauhid kepada Allah dan taat kepada RasulNya. Karena sesungguhnya Allah akan memberikan pertolongan kepada RasulNya dan orang-orang beriman di dunia dan di akhirat.

Dalam kisah perang Uhud, kita dapat mengambil pelajaran berharga berkaitan dengan sebab-sebab kekalahan kaum Muslimin pada waktu itu. (Lihat surat Ali Imran ayat l37-l54).

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran (dalam hadits lain dengan kata mereka berperang di atas kebenaran), tidak merugikannya orang yang menghinanya sampai datang hari kiamat, dan mereka tetap dalam keadaan demikian hingga kiamat datang". [HR Muslim].

Derajat Yang Tinggi Hanya Dapat Diraih Dengan Ilmu
Allah berfirman :
"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". [Al Mujadilah : 11]

Al Imam Muhammad Amin Asy Syinqiti berkata: “Para ulama telah menjelaskan, kemenangan para nabi ada dua macam. Pertama. Kemenangan melalui hujjah dan argumentasi. Kemenangan ini diraih oleh seluruh nabi. Kedua. Kemenangan dengan pedang dan kekuatan. Kemenangan ini hanya diraih oleh nabi yang telah diperintahkan berperang fi sabilillah”. (Adhwa-ul Bayan, 1: 353).

TENTANG AL I’DAD AL MADI
Disamping mempersiapkan aqidah dan ilmu untuk meraih derajat yang tinggi, dalam jihad juga harus dilakukan persiapan-persiapan. Yaitu al i’dad al madi (persiapan materi), yang meliputi dua perkara. Pertama. ‘Udah al ‘asykariyah (perlengkapan senjata). Kedua. ‘Udah al basyariah (perlengkapan pasukan atau personalnya). Allah berfirman, yang artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, (QS Al Anfal : 60) Lihat juga Al Anfal ayat 65-66.

Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin menyatakan, berjihad itu harus terpenuhi syaratnya. Hendaknya kaum Muslimin memiliki kemampuan dan kekuatan, yang dengannya mereka bisa berjihad. Karena, seandainya kaum Muslimin berperang tanpa dibarengi dengan kernampuan, berarti sama dengan menjerumuskan diri ke dalam kerusakan. Oleh sebab itu, Allah tidak mewajibkan kepada kaum Muslimin berperang, ketika mereka berada di Mekkah, masih dalam keadaan lemah dan dalam cengkeraman kekuasaan orang kafir. Sehingga setelah berhijrah ke Madinah dan membentuk negara Islam dan memiliki kekuatan, maka Allah Azza wa Jalla mewajibkan mereka berperang.

Begitulah, jika belum terkumpul syarat-syaratnya, maka kewajiban berperang tidak ada, sebagaimana seluruh kewajiban dilakukan sesuai kemampuan. Yang sekarang harus ditempuh oleh kaum Muslimin ialah melakukan seluruh sebab-sebab yang telah diwajibkan Allah untuk mencapai kemenangan, yaitu menyerpurnakan dua persyaratan di atas. Wallahu a’lam.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kewajiban Sebelum Jihad"

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...