Dunia Butuh Hukum Islam
Jika kita ingin berfikir bagimana jika hukum yang berlaku di dunia ini adalah hukum islam bagiamanakah hidup ini? jawabannya tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kehidupan aman dan sentosa tidak ada lagi orang-orang yang tinggal dipinggiran jalan tidak ada lagi tindak kekerasan dan kejahatan akan tetapi itu semua hanyalah sebuah angan-angan disebabkan didunia bukan saja orang islam tetapi berbagai agama dan suku sedangkan di negara kita sendiri hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya.
Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).”
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.”
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa: 59)
Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rasul-Nya dan ulil amri. Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara ( pemimpin ). Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafa’ rasyidin sesudahnya : Sayyidina Abu Bakar ra, Sayyidina Umar ra, Sayyidina Ustman ra dan Sayyidina Ali ra.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara ?
Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rasul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Sangatlah indah jika para umara dan ulama tersebut saling bekerjasama untuk memimpin, mengajak, dan memerintahkan umat ini kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat di dunia dan akherat, serta melarang hal-hal yang jelek yang akan membawa mudharat bagi bangsa dan umat.
Suatu negara akan baik dan maju jika para pemimpin dan ulamanya baik, sebaliknya jika keduanya rusak, maka negarapun pasti akan rusak. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Abdullah Mubarak : ” Dua kelompok manusia, jika mereka baik, maka masyarakat akan baik, sebaliknya jika mereka rusak, maka masyarakatpun akan ikut rusak, mereka itu adalah para ulama dan umara’.
Para ulama dalam sebuah masyarakat dan negara mempunyai peran yang sangat besar, mereka berhak untuk ikut campur dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan maslahat umat, karena mereka mempunyai bekal dan ilmu yang cukup untuk berbicara masalah tersebut, apalagi kalau hal tersebut dilakukan secara musyawarah dan bersama-sama, tentunya akan lebih kuat dan akan terhindar dari mengikuti hawa nafsu atau sekedar mencari jabatan serta kesenangan dunia, seperti yang dituduhkan oleh beberapa pihak. Bahkan dalam kajian ilmu ushul fiqh, kita dapatkan bahwa Ijma’ ( konsensus ulama ) merupakan sumber hukum ketiga setelah Al Qur’an dan hadist. Hal itu, mengingat bahwa para ulama tersebut tidak akan mungkin berkumpul dan menyepakati hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Allah ta’ala berfirman ” Dan Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orng mukmin , maka Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatannya, dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS An Nisa’ : 115)
Imam Syafi’i ~ rahimahullah berkata ”Adapun keterangannya adalah barang siapa yang menyelisihi jalan atau cara pandang orang-orang yang beriman, dalam hal ini adalah ijma’ ( konsensus ) para ulama , maka dia diancam oleh Allah dengan neraka Jahannam”. Padahal secara kenyataannya para ulama itu adalah bagian dari umat ini, bahkan jumlah mereka sangat sedikit, namun karena kapasitas keilmuan mereka, maka kesepakatan mereka dianggap telah mewakili umat Islam secara keseluruhan.
Dari sini, kita mengetahui betapa tinggi kedudukan para ulama di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, ayat di atas memberikan pesan kepada umat Islam untuk selalu bersama dengan para ulama, dan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui, sekaligus larangan untuk menyelisihi para ulama dengan mengeluarkan pendapat – pendapat aneh yang tidak ada dasarnya dari Al Qur’an dan hadist. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga kita dari berbuat yang tidak sesuai dengan jalannya orang-orang beriman
Begitupula dengan kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Sedangkan Republik Islam Iran yang mayoritas penduduknya adalah kaum syiah yang menurut anggapan pengikut ajaran Wahabi adalah sesat, mereka memiliki Pemimpin Agung Iran yang bertanggung jawab terhadap “kebijakan-kebijakan umum Republik Islam Iran“. Ia juga merupakan ketua pasukan bersenjata dan badan intelijen Iran dan mempunyai kuasa mutlak untuk menyatakan perang. Mereka memiliki Majlis Wali yang menjaga konstitusi dan perundang-undangan agar sesuai dengan syariat Islam. Mereka juga memiliki Majelis Ahli yang bermusyawarah selama seminggu setiap tahun mempunyai 86 anggota yang ahli dalam ilmu-ilmu agama. Jadi kekuasaan dan kebijakan Presiden Republik Islam Iran dikendalikan agar mengikuti syariat Islam.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Lembaga negara yang berunsurkan kata “agung” seperti Mahkamah Agung , Jaksa Agung pada hakikatnya adalah wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi agar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20, dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syekh Muhammad Jambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir, tapi dia disadarkan dan diinsyafkan oleh gurunya.
Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah – Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Japang Lima Puluh Kota ) kemudian berganti nama menjadi Darul Funun El Abbasyiah.
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Mereka yang merasa syariah Islam belum tegak adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi sehingga mereka tidak lagi mempercayai apa yang telah dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.
Mereka disibukkan atau membuang-buang waktu untuk mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak mempunyai komptensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Oleh karena mereka tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak maka mereka justru merusak syariat Islam yang sudah dikumpulkan, dianalisa dan dituangkan dalam kitab fiqih oleh Imam Mazhab yang empat.
Ulama besar Syria, DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi telah berdialog dengan ulama Al Albani untuk mengetahui “pemahaman” ulama Al Albani langsung dari lisannya. Akhirnya kesimpulan Syaikh al Buthi dituangkan dalam buku berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri”
Maksudnya tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim) walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah. Hindarilah firqoh atau sekte yakni orang-orang yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Oleh karenanya ikutilah mayoritas kaum muslim atau as-sawad al a’zham atau Al Jama’ah atau ahlus sunnah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau disingkat aswaja yakni kaum muslim yang istiqomah mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah: 100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh.
Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya langsung. Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh. Disamping itu Imam Mazhab yang empat telah diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu sampai sekarang, berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Pemimpin (imam) ijtihad kaum muslim.
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Salah satu slogan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi adalah “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Sholeh” yang bertujuan agar kaum muslim tidak merujuk kepada Imam Mazhab yang empat dan melakukan ijtihad dengan akal pikirannya sendiri secara otodidak (belajar sendiri) sehingga menimbulkan perselisihan karena perbedaan pemahaman atau pendapat yang ditimbulkan karena bukan ahli istidlal atau tidak berkompetensi untuk melakukan ijtihad dan istinbat.
Pada hakikatnya jumlah hadits yang telah terbukukan hanyalah sebagian kecil dari jumlah hadits yang diterima dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat sehingga tidak cukup sebagai sumber ijtihad dan istinbat.
0 Response to "Dunia Butuh Hukum Islam"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...