Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai syarat materil gugatan rekonvensi, sehingga pada artikel ini akan dibahas mengenai syarat formil gugatan rekonvensi.
Supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya syarat materil, gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:
1. Menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;
2. Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;
3. Menyebut dengan rinci petitum gugatan.
Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat formil, dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau orang yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Subjek yang dapat ditarik sebagai tergugat rekonvensi adalah penggugat konvensi. Gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada tergugat untuk melawan gugatan konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai tergugat hanya penggugat konvensi.
Apabila tergugat rekonvensi terdiri dari beberapa orang dan gugatan rekonvensi memiliki kaitan yang erat dengan gugatan konvensi, sebaiknya seluruh penggugat konvensi ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari terjadinya cacat formil gugatan rekonvensi yang berbentuk plurium litis consortium yaitu kurangnya pihak yang ditarik sebagai tergugat. Dan, apabila gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi, maka tidak perlu menarik semua penggugat konvensi sebagai tergugat rekonvensi. Cukup satu atau beberapa orang yang benar-benar secara objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi.
Pasal 132 huruf (b) angka (1) HIR mengatur bahwa waktu pengajuan gugatan rekonvensi wajib dilakukan bersama-sama dengan pengajuan jawaban. Apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan bersama-sama dengan jawaban, maka akan mengakibatkan gugatan rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan tersebut tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Terdapat beberapa penafsiran yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan “jawaban” dalam praktek, ada yang menafsirkan jawaban sebagai jawaban pertama tetapi ada juga yang menfsirkan jawaban menjangkau juga jawaban dalam bentuk duplik.
Penafsiran yang sempit yang menafsirkan “jawaban” bermakna jawaban pertama mempunyai alasan bahwa:
1. Memperbolehkan atau memberikan kebebasan bagi tergugat mengajukan gugatan rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam membela hak dan kepentingannya;
2. Memperbolehkan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi melampaui jawaban pertama dapat menimbulkan ketidaklancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara;
3. Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan harus pada jawaban pertama yaitu agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan rekonvensi.
Prof. Subekti berpendapat bahwa gugatan rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi dimulai, hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, dan tidak dalam proses secara tertulis.
Pengajuan gugatan rekonvensi tidak harus bersama-sama dengan jawaban pertama tetapi dibenarkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap pembuktian. Dengan demikian, gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada jawaban pertama tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yustisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan masih dalam tahap jawab-menjawab. Yang menjadi syarat adalah gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban. Sehingga dapat diajukan bersama-sama pada jawaban pertama boleh juga pada jawaban duplik terhadap replik penggugat.
Menurut praktek peradilan saat ini, pengajuan gugatan rekonvensi hampir seluruhnya disampaikan pada jawaban pertama. Sehingga isi muatan jawaban pertama meliputi eksepsi, bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) dan gugatan rekonvensi. (hukumacaraperdata.com)
Supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya syarat materil, gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:
1. Menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;
2. Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;
3. Menyebut dengan rinci petitum gugatan.
Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat formil, dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau orang yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Subjek yang dapat ditarik sebagai tergugat rekonvensi adalah penggugat konvensi. Gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada tergugat untuk melawan gugatan konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai tergugat hanya penggugat konvensi.
Apabila tergugat rekonvensi terdiri dari beberapa orang dan gugatan rekonvensi memiliki kaitan yang erat dengan gugatan konvensi, sebaiknya seluruh penggugat konvensi ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari terjadinya cacat formil gugatan rekonvensi yang berbentuk plurium litis consortium yaitu kurangnya pihak yang ditarik sebagai tergugat. Dan, apabila gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi, maka tidak perlu menarik semua penggugat konvensi sebagai tergugat rekonvensi. Cukup satu atau beberapa orang yang benar-benar secara objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi.
Pasal 132 huruf (b) angka (1) HIR mengatur bahwa waktu pengajuan gugatan rekonvensi wajib dilakukan bersama-sama dengan pengajuan jawaban. Apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan bersama-sama dengan jawaban, maka akan mengakibatkan gugatan rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan tersebut tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Terdapat beberapa penafsiran yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan “jawaban” dalam praktek, ada yang menafsirkan jawaban sebagai jawaban pertama tetapi ada juga yang menfsirkan jawaban menjangkau juga jawaban dalam bentuk duplik.
Penafsiran yang sempit yang menafsirkan “jawaban” bermakna jawaban pertama mempunyai alasan bahwa:
1. Memperbolehkan atau memberikan kebebasan bagi tergugat mengajukan gugatan rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam membela hak dan kepentingannya;
2. Memperbolehkan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi melampaui jawaban pertama dapat menimbulkan ketidaklancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara;
3. Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan harus pada jawaban pertama yaitu agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan rekonvensi.
Prof. Subekti berpendapat bahwa gugatan rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi dimulai, hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, dan tidak dalam proses secara tertulis.
Pengajuan gugatan rekonvensi tidak harus bersama-sama dengan jawaban pertama tetapi dibenarkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap pembuktian. Dengan demikian, gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada jawaban pertama tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yustisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan masih dalam tahap jawab-menjawab. Yang menjadi syarat adalah gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban. Sehingga dapat diajukan bersama-sama pada jawaban pertama boleh juga pada jawaban duplik terhadap replik penggugat.
Menurut praktek peradilan saat ini, pengajuan gugatan rekonvensi hampir seluruhnya disampaikan pada jawaban pertama. Sehingga isi muatan jawaban pertama meliputi eksepsi, bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) dan gugatan rekonvensi. (hukumacaraperdata.com)
0 Response to "Syarat Formil Gugatan Rekonvensi"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...