Sekelumit Tentang Hukum Adat
Soepomo memberikan pengertian bahwa hukum Adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislative (unstatutory law) meliputi peraturan- peraaturan hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Van Vollenhoven memberikan pengertian bahwa hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Kemudian Soekamto, bahwa hukum Adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi , jadi mempunyai akibat hukum. Selanjutnya Hazairin juga memberikan pengertian bahwa setiap lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Demikian juga dengan hukum Adat : teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan : pada akhirnya hubungan antara Hukum dan Adat, yaitu sedemikian berlangsungnya sehingga istilah buat yang disebut hukum Adat itu tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang memahamkan menurut halnya sebutan Adat itu, atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Mengacu kepada beberapa pengertian yang telah dijekaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum adat atau hukum kebiasaan adalah suatu norma hukum yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sepanjang sejarah mengalami penyesuaian dengan keadaan, artinya bersifat terbuka menerima norma-norma dari luar sepanjang tidak bertentangan kepada adat atau budaya bangsa Indonesia. Dan pada umumnya hukum Adat tidak tertulis, meskipun ada yang tertulis, tetapi hanya suatu pengecualian, akan tetapi hukum Adat itu diyakini sebagai manifestasi rasa keadilan oleh anggota masyarakatnya.
Hukum Adat mempunyai corak dan sifat tidak seperti hukum pada umumnya. Kekhassan hukum Adat ini dikemukakan F.D. Hollemand bahwa sifat hukum Adat itu 4 macam dari masyarakat hukum Adat, yaitu religius magis, artinya masyarakat hukum Adat mempunyai sifat pola pikir religius, yaitu adanya suatu keyakinan terhadap sesuatu yang ghaib. Dan masyarakat hukum Adat selalu berusaha tidak disharmoni dalam arti selalu membina keselarasan keseimbangan anatara dunia lahir (nyata) dengan dunia batin (dunia ghaib). Komunnal artinya masyarakat hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan meliputi seluruh lapangan hukum Adat. Konkrit diartikan jelas atau nyata artinya setiap hubungan hukum dalam masyarakat hukum Adat dilakukan secara nyata tidak dengan diam-diam. Kemudian terakhir kontan artinya hubungan hukum dianggap hanya terjadi suatu ikatan yang hanya dapat dilihat, seperti dalam jual beli langsung dibayar dan juga langsung terima barang, dalam bahasa jawa disebut dengan istilah dibayar “jreng.”
Muhammad Koesnoe mengatakan bahwa sifat hukum Adat itu ada 3 macam yaitu adalah konkret, supel dan dinamis. Arti dari pada konkret menurut M.Koesnoe tidak jauh berbeda dengan yang telah disebutkan di atas, sedangkan pengertian supel ini sebenarnya sama dengan komunal, yaitu adanya rasa kebersamaan dengan istilah sering digunakan dalam kebersamaan ―senasib sepenanggungan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan dinamis adalah hukum Adat sebagai hukum yang berlaku dalam masyarakat bersifat terbuka dan tumbuh berkembang sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat, seperti dalam hukum kewarisan, bagian anak laki- laki dengan perempuan yang semula, dengan istilah belah ketupat, kemudian berubah dengan istilah sepikul segendongan.
Beberapa ahli hukum Adat mengemukakan bahwa sumber hukum Adat bervariasi. Van Vollenhoven mengatakan bahwa sumber hukum Adat adalah kebiasaan dan adat-istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat, dan pencatatan hukum oleh raja-raja, seperti di Jawa Timur Kitab Hukum Ciwasana oleh Raja Dharmawangsa, dan Kitab Hukum Gajahmada dan penggantinya Kanaka yang memberi perintah membuat Kitab Hukum Adigama, di Bali “Kitab Hukum Kutaramanawa. Menurut Djojodiguno sumber hukum Adat termasuk ugeran-ugeran (kaidah atau norma) yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya sebagai rasa keadilannya dalam hubungan pamrih.
Kemudian menurut Soepomo mengatakan bahwa perasaan keadilan yang timbul dalam hati nurani rakyat, yang berupa pepatah-pepatah adat, dalam pepatah Jawa seperti : Tetulung kok dikerto aji” artinya pertolongan jangan dinilai dengan uang, Sing dawa ususe”, artinya manusia hendaknya bersabar, jangan mudah marah oleh hasutan orang. Sedang dalam pepatah Bengkulu seperti Nasi secupuk, ikan sejerek”, yang artinya adalah suatu pemberian yang dinilai cukup tidak lebih dan juga tidak kurang, seperti pemberian dari calon suami kepada calon istri waktu akan melangsungkan perkawinan. Demikian dalam pepatah adat Minangkabau mengatakan “Adat pinjam mengembalikan, Hutang bayar piutan diterima, Salah ditimbang kusut diselesaikan. Selain yang telah dijelaskan di atas, sumber hukum Adat adalah berupa dokumen-dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup pada waktu itu, baik yang berupa piagam-piagam, seperti papekan Cirebon”, di Cirebon, maupun peraturan-peraturan seperti “awik-awik” di Bali, dan ketentuan-ketentuan atau keputusan-keputusan pejabat adat seperti rapang-rapang di Makasar.
Mengacu kepada beberapa pengertian yang telah dijekaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum adat atau hukum kebiasaan adalah suatu norma hukum yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sepanjang sejarah mengalami penyesuaian dengan keadaan, artinya bersifat terbuka menerima norma-norma dari luar sepanjang tidak bertentangan kepada adat atau budaya bangsa Indonesia. Dan pada umumnya hukum Adat tidak tertulis, meskipun ada yang tertulis, tetapi hanya suatu pengecualian, akan tetapi hukum Adat itu diyakini sebagai manifestasi rasa keadilan oleh anggota masyarakatnya.
Hukum Adat mempunyai corak dan sifat tidak seperti hukum pada umumnya. Kekhassan hukum Adat ini dikemukakan F.D. Hollemand bahwa sifat hukum Adat itu 4 macam dari masyarakat hukum Adat, yaitu religius magis, artinya masyarakat hukum Adat mempunyai sifat pola pikir religius, yaitu adanya suatu keyakinan terhadap sesuatu yang ghaib. Dan masyarakat hukum Adat selalu berusaha tidak disharmoni dalam arti selalu membina keselarasan keseimbangan anatara dunia lahir (nyata) dengan dunia batin (dunia ghaib). Komunnal artinya masyarakat hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan meliputi seluruh lapangan hukum Adat. Konkrit diartikan jelas atau nyata artinya setiap hubungan hukum dalam masyarakat hukum Adat dilakukan secara nyata tidak dengan diam-diam. Kemudian terakhir kontan artinya hubungan hukum dianggap hanya terjadi suatu ikatan yang hanya dapat dilihat, seperti dalam jual beli langsung dibayar dan juga langsung terima barang, dalam bahasa jawa disebut dengan istilah dibayar “jreng.”
Muhammad Koesnoe mengatakan bahwa sifat hukum Adat itu ada 3 macam yaitu adalah konkret, supel dan dinamis. Arti dari pada konkret menurut M.Koesnoe tidak jauh berbeda dengan yang telah disebutkan di atas, sedangkan pengertian supel ini sebenarnya sama dengan komunal, yaitu adanya rasa kebersamaan dengan istilah sering digunakan dalam kebersamaan ―senasib sepenanggungan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan dinamis adalah hukum Adat sebagai hukum yang berlaku dalam masyarakat bersifat terbuka dan tumbuh berkembang sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat, seperti dalam hukum kewarisan, bagian anak laki- laki dengan perempuan yang semula, dengan istilah belah ketupat, kemudian berubah dengan istilah sepikul segendongan.
Beberapa ahli hukum Adat mengemukakan bahwa sumber hukum Adat bervariasi. Van Vollenhoven mengatakan bahwa sumber hukum Adat adalah kebiasaan dan adat-istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat, dan pencatatan hukum oleh raja-raja, seperti di Jawa Timur Kitab Hukum Ciwasana oleh Raja Dharmawangsa, dan Kitab Hukum Gajahmada dan penggantinya Kanaka yang memberi perintah membuat Kitab Hukum Adigama, di Bali “Kitab Hukum Kutaramanawa. Menurut Djojodiguno sumber hukum Adat termasuk ugeran-ugeran (kaidah atau norma) yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya sebagai rasa keadilannya dalam hubungan pamrih.
Kemudian menurut Soepomo mengatakan bahwa perasaan keadilan yang timbul dalam hati nurani rakyat, yang berupa pepatah-pepatah adat, dalam pepatah Jawa seperti : Tetulung kok dikerto aji” artinya pertolongan jangan dinilai dengan uang, Sing dawa ususe”, artinya manusia hendaknya bersabar, jangan mudah marah oleh hasutan orang. Sedang dalam pepatah Bengkulu seperti Nasi secupuk, ikan sejerek”, yang artinya adalah suatu pemberian yang dinilai cukup tidak lebih dan juga tidak kurang, seperti pemberian dari calon suami kepada calon istri waktu akan melangsungkan perkawinan. Demikian dalam pepatah adat Minangkabau mengatakan “Adat pinjam mengembalikan, Hutang bayar piutan diterima, Salah ditimbang kusut diselesaikan. Selain yang telah dijelaskan di atas, sumber hukum Adat adalah berupa dokumen-dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup pada waktu itu, baik yang berupa piagam-piagam, seperti papekan Cirebon”, di Cirebon, maupun peraturan-peraturan seperti “awik-awik” di Bali, dan ketentuan-ketentuan atau keputusan-keputusan pejabat adat seperti rapang-rapang di Makasar.
0 Response to "Sekelumit Tentang Hukum Adat"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...