Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Menuju Ilmu

Manusia, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, merupakan makhluk yang sadar. Kesadaran itu dapat disimpulkna dari kemampuan berfikir, berkendak dan merasakan. Dengan kesadarannya, manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan, dengan kehendaknya manusia dapat mengarahkan perilakunya dan dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenganan. 

Dari hal tersebut, ilmulah yang mendapatkan tempat pertama dalam kehidupan manusia. Ilmu kita artikan sebagai kegiatan intelektual manusia, dalam kaitannya dengan kehadiran alam dan kehidupan di sekelilingnya. Dengan ilmu, manusia akan menyadari keberadaan dirinya di tengah alam dan kehidupan. 

Menurut Satjipto Rahardjo, "ilmu adalah untuk kenyataan", bukan sebaliknya, " kenyataan untuk ilmu", Apabila kenyataan untuk ilmu, kenyataan itu akan dimanipulasi, sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada.

Jika kita kembali ke zaman Yunani kuno, teranglah, ilmu dan filsafat tidak dipisahkan Pada zaman ini, pembuktian empirik kurang mendapatkan perhatian dan metode ilmiah belumlah berkembang. Sedikit demi sedikit, dengan makin berkembangnya penalaran dan metode ilmiah, dengan makin kuat dan makin dihargainya pembuktian empirik dan makin meluasnya instrumen penelitian, satu persatu cabang ilmu mulai melepaskan diri dengan filsafat. Dapat ditafsirkan, sejak zaman Yunani kuno inilah, ilmu mulai membebaskan dirinya dari nilai-nilai yang dianut oleh cabang filsafat tertentu. Dalam wacana ini, filsafat telah dianggap mati oleh ilmu (the end of philosophy).


Yang dimaksud the end of philosophy dalam wacana ini bukan dalam artian tidak adanya lagi filsafat dalam ilmnu pengetahuan, tetapi berakhimya filsafat metafisika. Martin Heidegger10 menggambarkan bahwa akhir metafisis dimulai ketika klaimontologi sebagai fondasi dunia realitas, mengalami kemerosotan dan tidak lagi menggantungkan pendefinisian dirinya pada model- model kebenaran metafisis tersebut (logos, eidos, subtansi, esensi, dan tuhan), melainkan dari kebenaran dunia itu sendiri. Jadi, kebenaran ilmu pengetahuan, sejak melepaskan djrinya dari tradisi filsafat, telah mulai mengenal dunia secara empirik dan tidak lagi di batasi hanya pada nilai-nilai metafisis. 

Pada waktu ilmu masih merupakan bagian dari filsafat, definisi ilmu tergantung pada sistem filsafat yang dianut. Setelah ilmu membebaskan diri dari filsafat, definisi ilmu lebih tergantung dari apa yang dikerjakan oleh ilmuwan, dengan meh'hat metode yang digunakannya. Dari wacana yang temrai di ates, timbullah suatu pertanyaan, yaitu Apakah ilmu (pengetahuan) itu bebas nilai atau tidak?

Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Descartes, 3 dengan sikap skeptis-metodisnya yang meragukan segala sesuatu, kecuali meragukan dirinya yang sedang metagukan segala sesuatu tersebut. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, ia mangajukan sebuah adagium primum philosophicum atau kebenaran filsafat pertama, yang berbunyi cogito ergo sum (I think, hence I am). Di sinilah kata cogito bermakna berpikir atau sadar dalam artian yang lebih luas. Kesadaran (cogito), ia canangkan sebagai kesadaran subjek yang rasional. Untuk menunjukkan keapriorian cogita, ia mengajukan metode kesangsian.

Bagi Descartes, kesangsian itu sebagai kesangsian metodis universal. Eksistensi segala sesuatu dapat diragukan, kecuali kesadaran akan keraguan itu sendiri. Pemikiran Descartes pada posisi ini lebih diperuntukkan bagi perkembangan ilmu.


Descartes membicarakan masalah ilmu-ilmu, yang diawalinya dengan menyebutkan akal sehat (common-sense), yang pada umunya oleh setiap orang. Menurutnya, yang terpenting adalah penerapan akal sehat tersebut dalam aktivitas pesan yang tersirat dari Descartes adalah: satu hal yang diperlukan dalam menuntut ilmu ialah melepaskan diri dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, mengerahkan diri untuk belajar dari 'buku”alam raya dan mempelajari‘ dirinya sendiri. Kemudian Descrates, menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang dalam aktivitas ilmiah, baginya sesuatu yang dikerjakan oleh satu orang lebih sempuma daripada dikerjakan oleh sekelompok orang secara bersama-sama.

Selain Descartes, tokoh lain sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas dari nilai-nilai. Ia juga menyatakan bahwa ilmu sosial harus menjadi nilai-nilai yang relevan (value- relevant). Weber tidak yakin kalau ilmuwan sosial, dalam melakukan aktivitasnya, tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan dari bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktek itu mengandung tujuan rasional.

Setelah ilmu dikatakan dapat membebaskan diri dari nilai tertentu (filsafat yang mengukungnya), timbullah persoalan berikut, yaitu seperti apakah pengetahuan ilmiah tersebut? Pada umunya, kalangan ilmiah berpendapat bahwa kesahihan pengetahuan ilmiah mengharuskan seluruh cara kerja ilmiah diarahkan untuk memperoleh derajat kepastian yang setinggi mungkin pada pengetahuan yang Ini berarti, pemahaman yang akan diuji dalam suatu cara kerja ilmiah, harus pertamakalidapat dibenarkan secaraapn'ori (sebelum teruji melalui metode ilmiah). Pemahaman ini dapat berasal dari pengetahuan hasil tangkapan empirik (menggunakan kelima indera, dengan atau tanpa alat bantu indera), dapat juga hasil pengolahan rasional (menggunakan berbagai bentuk berpikir), atau dari keduanya. Inti dasar pembenaran ini adalah, bahwa pemahaman mengenai ilmu pengetahuan harus teruji secara ilmiah. 


Syarat ilmiah adalah sebagai berikut:


1. Sistematik, artinya terdapat sistem di dalam susunan suatu pengetahuan ilmiah (produk) dan di dalam cara memperoleh pengetahuan itu (proses atau metode). Suatu pengkajian atau penelitian ilmiah tidak akan membatasi dirinya hanya pada satu bahan informasi saja, melainkan senantiasa meletakkan hubungan antar sejumlah informasi, sambil berusaha agar hubungan-hubungan tersebut dapat merupakan suatu kebulatan.

2. Intersubjektif artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang harus mengalami veriñkasi dari subjek-subjek lainnya, supaya pengetahuan itu lebih terjamin kebasahan atau kebenarannya. Untuk dapat membedakan antara pengetahuan ilmiah dan non ilmiah, perhatikanlah tabel di bawah ini.

Pada bagian selanjutnya, penulis akan membahas apa yang dinamakan dengan ilmu.

Ilmu, apakah itu? Menurut Pradjudi, ilmu harus ada objeknya. terminologi, metodologi, filosoñ dan. teori bersifat khas. Menambahkan ciri ilmu dari Pradjudi ini, Nawawi memberi dua ciri baru, yaitu ilmu harus bersifat universal dan mempunyai sistematika. 

Ilmu yang mempunyai ciri tersebut di atas memungkinkan manusia dapat mengungkap keajaiban dan misteri alam semesta ini. Misalnya, ilmu yang dinyatakan oleh Newton. Ia telah mengklaim, bahwa dengan' ilmunya, ia dapat menjelaskan semua gejala alam seccara tuntas. Ia telah menemukan hukum-hukum yang dapat menjelaskan kenyataan ini. Teori Newton akhirnya berhasil digulingkan oleh Einstein. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu berjalan dari waktu ke waktu dan dari keberhasilan yang satu ke keberhasilan lain yang lebih Jelaslah, basis ilmu adalah kenyataan.


Kita kembali kepada persoalan kita, apa ilmu itu? Dalam artikel ini, tidak akan banyak dijelaskan mengenai bagaimana ilmu itu terbentuk, namun hanya akan dijelaskan terbatas pada pengertian ilmu. Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-sebab atau asal-usul. Istilah pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan pengertian opini, sedangkan sebab (musa), yang diambil dari kata Yunani, aitia merupakan prinsip pertama yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia, yang menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan mengandung dua aspek, yaitu aspek subjektif dan objektif.

Sementara itu, Sondang Siagian (1985) menyatakan, ilmu (pengetahuan) dapat didefinisikan sebagai suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil dan rumusan, yang melalui percobaan sistematis berulang kali, telah teruji kebenarannya. Hal itu memungkinkan prinsip-prinsip, dalil-dalil dan rumusan-rumusan ilmu tersebut dapat diajarkan dan dipelajari.

Dari definisi tersebut di atas, Fred D Kerlinger masih mempertanyakan apakah arti suatu ilmu (what is science?). Baginya, hal itu merupakan suatu pertanyaan yang tidak mudah. Untuk dijawab karena tidak cukup bila hanya menyuguhkan sebuah pendeñnisian. Begitu kita membicarakan ilmu, kebanyakan kita hanya mencoba menerangkan fungsi ilmu dan bukan hakekat ilmu itu sendiri. Kerlinger, dengan mengutip pendapat Conant, mengatakan bahwa di dalam ilmu pengetahuan, terdapat dua pandangan, yaitu pandangan statis dan pandangan lebih lanjut ia mengatakan:

"The static view is the view that seems to influence most layment and student is that science is an activity that contributes systematized information on the world”. 'The dynamic view on the other hand, regards science more as an activity what science do. The presentstate of knowledge is important of course. But it is important mainly because it's a base for further science theory and research”. 

Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu pengetahuan.


1. Secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan, yang secara logis koheren. Ini berarti menyangkut metode maupun susunannya yang logis.

2. Tanpa pamrih karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuwan.

3. Adanya universalitas dalam ilmu pengetahuan.

4. Adanya objektivitas, artinya tidak didistrosi oleh prasangka-prasangka subjektif.

5. Harus diverifikasi oleh penelitian ilmiah yang bersangkutan dengannya. Karena itu, ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.

6. Progresif, artinya Suatu jawaban baru bersifat ilmiah, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problema baru lagi.

7. Kritis, artinya tidak ada teori  yang deñnitif, setiap teori terbuka bagi suatu tinjauan  yang memanfaatkan data-data baru.

8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan keberaturan antara teori dengan praktis.

Dari ciri-ciri tersebut di atas, yang lebih ditekankan oleh penulis dalam pengembangan ilmu hukum adalah ciri progresif, karena ciri inilah yang memungkinkan baiknya kualitas penegakan hukum. Dalam hal ini, progresif dapat diartikan adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern  ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, holistic, comprehensiñ mendasar, kritis serta analitis yang menyatu.

Dari beberapa pengertian ilmu tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu menyandang dua makna, yakni sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. Dari hal inilah, Wimvan Dooren mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang sah secara intersubjektif dalam bidang kenyataan tertentu, yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata secara sistematis.

Pembahasan ini sengaja diberi judul pengantar menuju ilmu, karena isi yang tertuang di dalamnya bermaksud mengantarkan pembaca ke dalam ruang lingkup apa itu ilmu. Bagi pembaca yang cukup kritis, mungkin timbul suatu pertanyaan, mengapa pada era yang penuh penolakan terhadap perspektif resmi (posmodern). masih saja dibicarakan asal-usul dari ilmu pengetahuan? John Horgan, dalam bukunya lhe end of science: facing the limit of knowledge in the twilight of the scientific age (1997), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Djejen Zainudin sebagai The end of science: Sejak ilmu pengetahuan (2005), menjelaskan dengan panjang lebar bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini telah mati. Dengan jelas, ia memaknai kematian dalam ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang melampui batas untuk menuju titik ekstrim, suatu peleburan dan pencampuradukan serta tidak adanya lagi kondisi objek ilmu pengetahuan itu sendiri.


Ilmu pengetahuan, sebagai pengantar dalam wacana ini, jelas tidak mempunyai makna apa-apa jika kita perdebatkan dengan Horgan. Penulis berendah hati terhadap Horgan dan menerima pendapatnya karena saat ini ilmu pengetahuan tidak lagi mempunyai objek. Kita dapat mengambil contoh, ilmu-ilmu fisika, kimia, ñlsafat, biologi, kosmologi, ternyata mempunyai objek kajian yang tidak tak terbatas. Di dalam fisika partikel misalnya, ketika ditemukan bahwa quarks adalah partikel paling kecil yang membentuk proton dan neutron, maka tidak ada lagi objek penelitian fisika partikel. Lalu muncullah teori fraktal, yang meneliti aspek-aspek lain dari partikel yang domainnya dari ilmu fisika, seperti estetika partikel.

Walaupun ilmu pengetahuan dalam perkembangannya hampir dikatakan sudah mati, patutlah diakui, bahwa karena ilmu pengetahuanlah Revolusi Industri tahun 1760 di Inggris bisa membangkitkan peran serta manusia terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan"

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...