Contreng atau Golput (Sebuah Panduan Syar’i)
Pembahasan tentang memilih atau tidak memiih hari ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi itu ada di dua sisi yang saling berseberangan. Tulisan ini tidak sedang membela salah satunya. Bukan juga ajakan untuk memilih atau golput. Tulisan ini hadir justru dari keterpanggilan untuk mendudukkan masalah pada porsinya yang tepat dan benar. Mencotreng atau golput, dari kacamata syariat yang proporsional tanpa tendensi atau pragmatisme kepentingan.
Ini semua agar kita tidak menyesal. Karena penyesalan kita bisa sangat panjang. Sejak di dunia ini. Saat kita mendapat pemimpin yang jahat dan akhirnya hanya saling hujat saja dengan masyarakatnya, seperti dalam hadits Nabi, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim no. 1855 dan Ahmad no. 24027)
Atau penyesalan yang paling rugi saat nanti di akhirat, seperti gambaran ayat berikut, “Dan mereka semua (di padang Mahsyar) berkumpul untuk menghadap ke hadhirat Allah, lalu orang yang lemah berkata kepada orang yang sombong: Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut kalian, maka dapatkah kalian menghindarkan kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: Sekiranya Allah memberi petunjuk kepada kami niscaya kami memberi petunjuk kepada kalian. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh atau bersabar. Kita tidak punya tempat untuk melarikan diri.” (QS. Ibrahim/14: 21)
Sementara, semua yang kita lakukan kelak harus dipertanggungjawabkan. Sehingga kita harus benar-benar berhitung terhadap aktifitas sekecil apapun. Apalagi jika aktifitas kita adalah aktifitas yang menyentuh kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Kesalahan yang kita lakukan pada wilayah umum seperti ini akan berhadapan dengan pertanggungjawaban yang tidak ringan di hari kiamat kelak. Memilih pemimpin adalah aktifitas yang masuk wilayah ini. Artinya, ketika kita masuk bilik suara untuk menyontreng, kita tidak hanya berhadapan dengan apa atau siapa. Tetapi kita sedang berhadapan dengan pengadilan Allah kelak.
Memilih pemimpin yang baik dan benar, artinya kita ikut urun rembug dalam kebaikan. Karena pemimpin yang baik dan benar akan menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Memilih pemimpin yang rusak dan tidak berkompeten, artinya kita ikut andil dalam kerusakan. Karena merekalah yang kelak mencekik rakyat, membuat kerusakan masal secara sistematis.
Maka kita layak berhitung, bahkan harus. Dengan cermat. Dan sangat cermat! Dan mari kita mulai berhitung.
Jika Harus Memilih
Pilihlah hanya pemimpin yang kita kenal. Jangan pernah menjadi orang yang hanya ikut bergerak kemana angin bertiup. Orang banyak boleh merekomendasikan, tetapi ukurlah dengan pengetahuan kita terhadap calon pemimpin itu.
Pertanyaannya adalah, apa yang harus kita kenali?
Jika hanya mengenal nama, tempat tinggal, daerah asal, ini bukanlah pengenalan yang mampu menghadirkan pemimpin yang baik dan benar. Pengenalan itu bercermin pada pengenalan Allah terhadap Nabi Yusuf (12: 55) yang menyebut dirinya (Hafidzun = yang sangat menjaga/amanah) (‘Alim = mempunyai ilmu). Sebagaimana juga pengenalan Allah terhadap Nabi Musa yang berperan sebagai pekerja dan disebut dalam ayat (28:260) sebagai: (al-Qowiy = yang kuat) (al-Amin = yang amanah)
Dari dua contoh yang mencantumkan dua kata untuk satu Nabi bisa disimpulkan dengan dua kata berikut:
1. Integritas moral
2. Kompetensi
Integritas moral menjadi harga mati, walau ada di standar rendah tetapi tidak keluar dari frame minimal. Seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash yang keduanya masuk Islam terlambat; tahun 7 H, tetapi langsung diberikan amanah kepemimpinan perang bahkan hanya beberapa bulan setelah mereka masuk Islam. Mereka berdua orang yang berkompeten di medan perang. Adapun tingkat integritas moral dan keshalehannya, mereka berdua telah mencapai tingkat standar dasar seorang muslim.
Mereka berdua bukan orang fajir/pelaku dosa, sehingga di sini tidak berlaku pembahasan -yang sesungguhnya belum final- tentang pilihan rumit antara fajir qowiy (orang rusak yang kuat) dengan sholeh dhoif (orang shaleh yang lemah).
Untuk seorang pemimpin, integritas moral yang mudah diukur adalah hal yang berhubungan dengan orang banyak. Seperti kata amanah yang diulang-ulang dalam dua contoh di atas. Amanah adalah integritas moral yang sangat penting keberadaannya pada partai dan calon pemimpin. Rasul berulang kali menyampaikan pesan tentang hal ini agar diingat bahwa memilih pemimpin harus yang amanah.
Di antara haditsnya adalah, "Tidak ada seorang hamba yang diberikan amanah kepemimpinan, kemudian dia meninggal dan pada hari meninggalnya itu dia masih mempunyai kesalahan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya sorga!" (HR. Bukhari no. 6731 dan Muslim no. 142)
Di antara yang sangat diperhatikan dalam integritas moral adalah kelembutan hati. Dengarlah doa nabi berikut ini, "Ya Allah siapapun memimpin umatku dengan mempersulit, maka persulitlah dia. Dan siapa yang memimpin dengan kasih sayang/kelembutan, maka sayangilah dia.” (HR. Muslim no. 1828).
Ini sejalan dengan pujian Allah terhadap Nabinya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali Imran: 159)
Kelembutan hati adalah modal penting untuk keputusan yang menggunakan hati dengan penuh empati kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Dua contoh integritas moral ini bisa dilihat dari raportnya pada masa kepemimpinan partai/pemimpin itu sebelumnya, jika pernah memimpin. Jika belum pernah memimpin, maka bisa dibuka pada catatan masyarakat. Jika belum menjadi pemimpin saja, sudah arogan dan berhati kasar dalam muamalah maka kekuasaan kelak akan membuka peluang untuk arogansi yang lebih besar.
Kesholehan ternyata tidaklah cukup. Hanya disebut ustadz tidaklah cukup, Atau mendapat gelar al-Hafidz atau semua atribut simbol kesholehan. Karena Nabi saja pernah menolak Abu Dzar al-Ghifari. Padahal kesholehan Abu Dzar tidak diragukan sama sekali bahkan oleh Nabi sendiri. Penolakan Nabi terhadap Abu Dzar lebih karena Abu Dzar tidak mempunyai kompentensi dalam kepemimpinan, “Kamu jangan memimpin dua orang dan mengurusi harta anak yatim!” (HR. Muslim no. 1826).
Dari sini, jika kita harus memilih maka pilihlah pemimpin yang kita kenal integritas kesholehannya dan kompentensi kepemimpinannya.
Golput Mungkinkah?
Memilih partai/pemimpin bagian Dari Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Karena dengan memilih pemimpin yang tepat, kita berharap pemimpin itu akan mendatangkan ma’ruf (kebaikan) dan menghilangkan atau meminimalkan kemungkaran.
Perintah amar ma’ruf nahi mungkar merupakan hal yang tidak perlu panjang lebar kita bicarakan. Karena sudah gamblang dan terang. Khoiriyyah ummah (Umat ini disebut terbaik) jika dua hal ini masih ada dengan dilandasi oleh iman (Qs. Ali Imran: 110).
Mengingat negara ini perlu perbaikan yang luar biasa kalau tidak mau dikatakan perlu perombakan besar-besaran, maka memilih partai/pemimpin adalah bagian dari perbaikan besar negeri ini.
Melihat melalui kacamata amar ma’ruf nahi mungkar, maka keterlibatan kita dalam berpartisipasi di pemilu adalah amal yang amat penting dan bahkan harus.
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Ada Batasnya!
Amar ma’ruf nahi mungkar yang artinya iku memilih dalam Pemilu, harus dihentikan alias harus golput sebagaimana dalam ayat dalam surat al-Maidah: 105,
"Hai orang-orang yang beriman, urusilah dirimu sendiri; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”
Ayat ini pernah disalahpahami oleh generasi tabi’in, di mana mereka memahami bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak perlu dilakukan sama sekali. Pemahaman ini telah diluruskan oleh Abu Bakar, Abu Tsa’labah al-Khutsani dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhum dengan sabda Rasul,
"Kalian harus tetap amar ma’ruf nahi mungkar hingga kalian lihat:
1. Kekikiran yang ditaati
2. Hawa nafsu yang diikuti
3. Dunia yang lebih dipentingkan
4. Masing-masing bangga dengan pemikirannya sendiri
"(jika telah kalian lihat) maka urusilah dirimu sendiri dan tinggalkan urusan kebanyakan orang." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, Tirmidzi berkata: Ini hadits hasan, gharib, shahih)
Jelas dari hadits ini bahwa amar ma’ruf nahi mungkar itu ada batasnya. Yaitu jika 4 hal di atas sudah terlihat pada partai/pemimpin.
Jika ke 4 hal tersebut telah bisa dibaca dengan jelas, maka inilah saatnya kita menyelamatkan diri kita masing-masing dan meninggalkan aktifitas besar masyarakat itu, artinya, inilah saatnya golput!
Akhirnya, dengan panduan ini, selamat berhitung dengan cermat.
Ya Allah tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berikan kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil dan berikan kekuatan untuk meninggalkannya.
Wallahu a’lam
Sumber
Ini semua agar kita tidak menyesal. Karena penyesalan kita bisa sangat panjang. Sejak di dunia ini. Saat kita mendapat pemimpin yang jahat dan akhirnya hanya saling hujat saja dengan masyarakatnya, seperti dalam hadits Nabi, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim no. 1855 dan Ahmad no. 24027)
Atau penyesalan yang paling rugi saat nanti di akhirat, seperti gambaran ayat berikut, “Dan mereka semua (di padang Mahsyar) berkumpul untuk menghadap ke hadhirat Allah, lalu orang yang lemah berkata kepada orang yang sombong: Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut kalian, maka dapatkah kalian menghindarkan kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: Sekiranya Allah memberi petunjuk kepada kami niscaya kami memberi petunjuk kepada kalian. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh atau bersabar. Kita tidak punya tempat untuk melarikan diri.” (QS. Ibrahim/14: 21)
Sementara, semua yang kita lakukan kelak harus dipertanggungjawabkan. Sehingga kita harus benar-benar berhitung terhadap aktifitas sekecil apapun. Apalagi jika aktifitas kita adalah aktifitas yang menyentuh kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Kesalahan yang kita lakukan pada wilayah umum seperti ini akan berhadapan dengan pertanggungjawaban yang tidak ringan di hari kiamat kelak. Memilih pemimpin adalah aktifitas yang masuk wilayah ini. Artinya, ketika kita masuk bilik suara untuk menyontreng, kita tidak hanya berhadapan dengan apa atau siapa. Tetapi kita sedang berhadapan dengan pengadilan Allah kelak.
Memilih pemimpin yang baik dan benar, artinya kita ikut urun rembug dalam kebaikan. Karena pemimpin yang baik dan benar akan menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Memilih pemimpin yang rusak dan tidak berkompeten, artinya kita ikut andil dalam kerusakan. Karena merekalah yang kelak mencekik rakyat, membuat kerusakan masal secara sistematis.
Maka kita layak berhitung, bahkan harus. Dengan cermat. Dan sangat cermat! Dan mari kita mulai berhitung.
Jika Harus Memilih
Pilihlah hanya pemimpin yang kita kenal. Jangan pernah menjadi orang yang hanya ikut bergerak kemana angin bertiup. Orang banyak boleh merekomendasikan, tetapi ukurlah dengan pengetahuan kita terhadap calon pemimpin itu.
Pertanyaannya adalah, apa yang harus kita kenali?
Jika hanya mengenal nama, tempat tinggal, daerah asal, ini bukanlah pengenalan yang mampu menghadirkan pemimpin yang baik dan benar. Pengenalan itu bercermin pada pengenalan Allah terhadap Nabi Yusuf (12: 55) yang menyebut dirinya (Hafidzun = yang sangat menjaga/amanah) (‘Alim = mempunyai ilmu). Sebagaimana juga pengenalan Allah terhadap Nabi Musa yang berperan sebagai pekerja dan disebut dalam ayat (28:260) sebagai: (al-Qowiy = yang kuat) (al-Amin = yang amanah)
Dari dua contoh yang mencantumkan dua kata untuk satu Nabi bisa disimpulkan dengan dua kata berikut:
1. Integritas moral
2. Kompetensi
Integritas moral menjadi harga mati, walau ada di standar rendah tetapi tidak keluar dari frame minimal. Seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash yang keduanya masuk Islam terlambat; tahun 7 H, tetapi langsung diberikan amanah kepemimpinan perang bahkan hanya beberapa bulan setelah mereka masuk Islam. Mereka berdua orang yang berkompeten di medan perang. Adapun tingkat integritas moral dan keshalehannya, mereka berdua telah mencapai tingkat standar dasar seorang muslim.
Mereka berdua bukan orang fajir/pelaku dosa, sehingga di sini tidak berlaku pembahasan -yang sesungguhnya belum final- tentang pilihan rumit antara fajir qowiy (orang rusak yang kuat) dengan sholeh dhoif (orang shaleh yang lemah).
Untuk seorang pemimpin, integritas moral yang mudah diukur adalah hal yang berhubungan dengan orang banyak. Seperti kata amanah yang diulang-ulang dalam dua contoh di atas. Amanah adalah integritas moral yang sangat penting keberadaannya pada partai dan calon pemimpin. Rasul berulang kali menyampaikan pesan tentang hal ini agar diingat bahwa memilih pemimpin harus yang amanah.
Di antara haditsnya adalah, "Tidak ada seorang hamba yang diberikan amanah kepemimpinan, kemudian dia meninggal dan pada hari meninggalnya itu dia masih mempunyai kesalahan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya sorga!" (HR. Bukhari no. 6731 dan Muslim no. 142)
Di antara yang sangat diperhatikan dalam integritas moral adalah kelembutan hati. Dengarlah doa nabi berikut ini, "Ya Allah siapapun memimpin umatku dengan mempersulit, maka persulitlah dia. Dan siapa yang memimpin dengan kasih sayang/kelembutan, maka sayangilah dia.” (HR. Muslim no. 1828).
Ini sejalan dengan pujian Allah terhadap Nabinya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali Imran: 159)
Kelembutan hati adalah modal penting untuk keputusan yang menggunakan hati dengan penuh empati kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Dua contoh integritas moral ini bisa dilihat dari raportnya pada masa kepemimpinan partai/pemimpin itu sebelumnya, jika pernah memimpin. Jika belum pernah memimpin, maka bisa dibuka pada catatan masyarakat. Jika belum menjadi pemimpin saja, sudah arogan dan berhati kasar dalam muamalah maka kekuasaan kelak akan membuka peluang untuk arogansi yang lebih besar.
Kesholehan ternyata tidaklah cukup. Hanya disebut ustadz tidaklah cukup, Atau mendapat gelar al-Hafidz atau semua atribut simbol kesholehan. Karena Nabi saja pernah menolak Abu Dzar al-Ghifari. Padahal kesholehan Abu Dzar tidak diragukan sama sekali bahkan oleh Nabi sendiri. Penolakan Nabi terhadap Abu Dzar lebih karena Abu Dzar tidak mempunyai kompentensi dalam kepemimpinan, “Kamu jangan memimpin dua orang dan mengurusi harta anak yatim!” (HR. Muslim no. 1826).
Dari sini, jika kita harus memilih maka pilihlah pemimpin yang kita kenal integritas kesholehannya dan kompentensi kepemimpinannya.
Golput Mungkinkah?
Memilih partai/pemimpin bagian Dari Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Karena dengan memilih pemimpin yang tepat, kita berharap pemimpin itu akan mendatangkan ma’ruf (kebaikan) dan menghilangkan atau meminimalkan kemungkaran.
Perintah amar ma’ruf nahi mungkar merupakan hal yang tidak perlu panjang lebar kita bicarakan. Karena sudah gamblang dan terang. Khoiriyyah ummah (Umat ini disebut terbaik) jika dua hal ini masih ada dengan dilandasi oleh iman (Qs. Ali Imran: 110).
Mengingat negara ini perlu perbaikan yang luar biasa kalau tidak mau dikatakan perlu perombakan besar-besaran, maka memilih partai/pemimpin adalah bagian dari perbaikan besar negeri ini.
Melihat melalui kacamata amar ma’ruf nahi mungkar, maka keterlibatan kita dalam berpartisipasi di pemilu adalah amal yang amat penting dan bahkan harus.
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Ada Batasnya!
Amar ma’ruf nahi mungkar yang artinya iku memilih dalam Pemilu, harus dihentikan alias harus golput sebagaimana dalam ayat dalam surat al-Maidah: 105,
"Hai orang-orang yang beriman, urusilah dirimu sendiri; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”
Ayat ini pernah disalahpahami oleh generasi tabi’in, di mana mereka memahami bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak perlu dilakukan sama sekali. Pemahaman ini telah diluruskan oleh Abu Bakar, Abu Tsa’labah al-Khutsani dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhum dengan sabda Rasul,
"Kalian harus tetap amar ma’ruf nahi mungkar hingga kalian lihat:
1. Kekikiran yang ditaati
2. Hawa nafsu yang diikuti
3. Dunia yang lebih dipentingkan
4. Masing-masing bangga dengan pemikirannya sendiri
"(jika telah kalian lihat) maka urusilah dirimu sendiri dan tinggalkan urusan kebanyakan orang." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, Tirmidzi berkata: Ini hadits hasan, gharib, shahih)
Jelas dari hadits ini bahwa amar ma’ruf nahi mungkar itu ada batasnya. Yaitu jika 4 hal di atas sudah terlihat pada partai/pemimpin.
Jika ke 4 hal tersebut telah bisa dibaca dengan jelas, maka inilah saatnya kita menyelamatkan diri kita masing-masing dan meninggalkan aktifitas besar masyarakat itu, artinya, inilah saatnya golput!
Akhirnya, dengan panduan ini, selamat berhitung dengan cermat.
Ya Allah tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berikan kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil dan berikan kekuatan untuk meninggalkannya.
Wallahu a’lam
Sumber
0 Response to "Contreng atau Golput (Sebuah Panduan Syar’i)"
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan...